Keesokan paginya.
Bhiru tadinya masih terlelap dan sedang bermimpi ketika ia dikagetkan dengan tubuhnya yang tiba-tiba diangkat dan dibopong oleh pak Ranu yang membawanya ke ruang tamu tanpa permisi.
"Paaaaak!!! Saya masih ingin tidur!!!" Bhiru mengerang keras sambil meronta pak dengan kedua mata masih setengah terpejam karena mengantuk.
"Sudah pagi. Kamu seharusnya sudah bangun." Ranu menimpali sambil mendudukan Bhiru di atas bangku kayu di dekat dapur.
"Tapi sekarang hari sabtu, paaaak...Biasanya saya bangun siang kalo libur." Bhiru membela diri sambil menutup mulutnya yang menguap dengan kedua telapak tangannya. "Kenapa sih bapak suka banget mengganggu kesenangan saya?"
"Pantesan kamu gampang sakit. Dasar pemalas!" timpal Pak Ranu, mengusap puncak kepala Bhiru sebelum beralih menuju dapur hendak memasak sarapan untuk mereka berdua.
Melihat pak Ranu memasak untuknya, Bhiru diam-diam terkekeh jahat. Kalau Jono dan kawan-kawan sampai tahu fakta ini, wibawa pak Ranu bakalan jatuh tak tertolong. Tapi di sisi lain, Bhiru juga merasa senang-senang saja dimanjakan sedemikian rupa.
"Baunya sedap. Bapak masak apa sih?" Bhiru penasaran dengan apa yang sedang dimasak hingga ia menghampiri lelaki itu.
"Omelet," jawab Ranu singkat sambil mengaduk-aduk adonan omelet dengan spatula namun masih sempat-sempatnya mengecup singkat kening Bhiru.
Tersipu, Bhiru mengusap keningnya yang habis dikecup. Apakah di sisa hidupnya kelak bakal semanis ini terus-menerus jika hidup bersama lelaki ini? Apakah ia harus mempertimbangkan kembali untuk mengenalkan lelaki ini pada Papanya dalam waktu dekat? Namun ketika ia teringat akan lamaran Pandu, Bhiru sontak merasa bersalah. Tidak seharusnya ia mengulur waktu terlalu lama untuk memberikan lelaki itu kepastian darinya.
Sembari menunggu pak Ranu selesai memasak, Bhiru pergi ke kamar mandi untuk mandi. Lima belas menit kemudian setelah selesai mandi, ia melihat sarapannya telah siap di meja dan pak Ranu telah menunggunya untuk makan sarapan bersama.
Ketika mereka duduk sarapan bersama, berkali-kali Bhiru menyibak poninya yang menganggu penglihatannya dan Ranu pun jadi tampak gemas dibuatnya. Bahkan sesekali tangannya ikut menyibak poni Bhiru yang pasrah dan membiarkan ia melakukannya.
Setelah sarapan dan Bhiru baru selesai mencuci piring bekas sarapan mereka, pak Ranu tiba-tiba menariknya lalu memintanya duduk di bangku pendek yang telah diletakkan di sisi jendela apartemen.
Melihat pak Ranu berlutut di depannya, jantung Bhiru mendadak berdebar kencang. Apakah kali ini pak Ranu benar-benar serius akan melamarnya?
"Bhiru...ijinkan saya untuk..." Ranu menatap lekat-lekat Bhiru yang tampak kebingungan dengan sikapnya.
"Bapak mau melamar saya lagi?" terka Bhiru polos dan berhasil membuat pak Ranu tertawa geli.
"Kenapa bapak malah tertawa?"
"Maaf. Bukan soal itu. Saya cuma mau minta ijin untuk merapikan sedikit poni kamu." Ranu memperlihatkan gunting yang tampak mungil di tangannya. Gunting yang biasanya Bhiru simpan di lemari dapur.
"Kirain bapak mau membujuk saya lagi soal pernikahan." Bhiru menggerutu kesal. Jujur ia malu karena terlalu percaya diri.
"Saya memang nggak akan menyerah soal pernikahan. Tapi untuk saat ini ngurusin poni kamu yang gondrong ini jauh lebih penting." Ranu menjawab dengan tangan yang mulai menyisir poni Bhiru hingga rapi dengan sisir kecil yang tidak ia kenali sebagai miliknya.
Sudah pasti, sisir kecil berwarna hitam itu milik pak Ranu.
"Jangan bergerak ya," perintah Ranu kali ini sambil membenarkan posisi wajah Bhiru dan gadis itu patuh begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE WITH [ OUT ] LOGIC
Romansa"Ta-pi saya sedang sakit, Pak. Uhuk...uhukk..." Bhiru melengkapi sandiwaranya dengan berpura-pura batuk dan berharap pak Ranu akan iba lalu percaya bahwa ia benar-benar sedang sakit dan butuh pengertiannya. "Saya dengar dari Kumala kamu cuma kena fl...