Sesekali menatap pak Ranu secara diam-diam dari kubikelnya, Bhiru menopang dagunya dengan wajah bosan sambil mendengarkan dua mahasiswi magang yang sedang membicarakan pak Ranu di belakangnya. Apalagi jika bukan tentang topik terpanas yang tak kunjung menjadi dingin selama seminggu ini.
"Aku yakin perempuan yang sedang dirangkul pak Ranu di foto itu pasti cabe-cabean!" terdengar salah satunya menuduh dengan nada kesal bercampur iri, membuat alis Bhiru berjengit kaget.
Namun alih-alih membela diri, yang bisa ia lakukan hanyalah menguping dari kubikelnya.
"Cabe-cabean? Mukanya aja nggak keliatan! Tahu dari mana cabe-cabean?" timpal mahasiswi satunya lagi.
"Tahu aja dari penampilannya."
Hah?! Bhiru semakin terbakar emosi.
Apa yang salah dengan penampilanku saat itu?! Aku hanya mengenakan rok lipit abu-abu di bawah lutut dan hoddie oversize warna hitam untuk melapisi kemeja putih lengan pendeknya. Apa yang salah dengan itu?! Mana ada cabe-cabean berpenampilan sekece itu! Lama-lama aku gaplokin bibir kalian satu-satu nih!
Tapi nyatanya Bhiru hanya bisa meremas-remas kertas di tangannya, saking kesalnya.
"Tapi beruntung banget nggak sih jadi perempuan itu? Berhasil merebut pak Ranu dari supermodel seperti Kania..."
"Aku yakin perempuan itu pasti pake ilmu pelet."
"Iya, aku juga yakin soal itu?"
"Padahal baru-baru ini Kania masuk dalam 100 besar perempuan tercantik di dunia. Pak Ranu pasti kena guna-guna, makanya otak dan penglihatannya jadi bermasalah. Masa iya rela membuang sebongkah berlian hanya untuk sebuah batu kerikil?"
Bhiru terus berkali-kali menenangkan dirinya. Sambil meyakinkan diri sendiri bahwa dua anak magang itu tidak tahu apa-apa tentang betapa buruknya batu berlian yang terbuang itu dan betapa pentingnya batu kerikil itu bagi pak Ranu.
Bhiru lalu menatap ke arah dua mahasiswi magang itu dengan tatapan menyipit sembari mendengus kesal agar kedua mahasiswi tukang ghibah itu berhenti membicarakannya.
"Maaf kak, maaf!" kedua mahasiswi itu buru-buru sadar dan segera menyelesaikan tugas mereka.
Bhiru lalu beralih menatap ke arah ruangan pak Ranu dan kali ini sorot mata mereka berdua saling bertumbukan. Hal itu membuat Bhiru gugup lalu memilih tiarap di atas tumpukan dokumen di mejanya.
Menyentuh dada kirinya yang berdebar-debar kencang, Bhiru merasa gelisah tak terkira. Jantungnya selalu tak aman meski pun ia sudah terlalu sering bertatapan dengan bola mata tajam pak Ranu.
Untuk menenangkan dirinya, Bhiru lalu menuju pantry. Mungkin secangkir kopi akan membuat perasaannya lebih baik. Kebetulan ada Jono dan Kumala yang juga sedang minum kopi di sana.
"Kalian minum kopi kok nggak ngajak-ajak sih?" Bhiru pura-pura menyindir sambil mengambil cangkir di rak. Hendak menyeduh kopi instan yang juga ia temukan di lemari gantung.
"Memangnya kamu nggak dilarang minum kopi, Bhi?" Kumala hendak mencegah keinginan Bhiru. Ia khawatir kesehatan Bhiru akan terganggu lagi gara-gara satu sachet kopi instan.
"Kata dokter, nggak ada pantangan kok." Bhiru dengan santai mengaduk kopi di cangkirnya. "Selama nggak berlebihan," lanjut Bhiru hendak menyesap kopinya. Ia masih ingat betul apa saja pesan dokternya sebelum ia meninggalkan rumah sakit.
Namun belum sempat bibirnya menyentuh bibir cangkirnya, tiba-tiba cangkir di tangannya sudah berpindah ke tangan pak Ranu yang tiba-tiba saja datang bagai angin dan langsung merebut kopinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE WITH [ OUT ] LOGIC
Любовные романы"Ta-pi saya sedang sakit, Pak. Uhuk...uhukk..." Bhiru melengkapi sandiwaranya dengan berpura-pura batuk dan berharap pak Ranu akan iba lalu percaya bahwa ia benar-benar sedang sakit dan butuh pengertiannya. "Saya dengar dari Kumala kamu cuma kena fl...