Tiba di apartemen, setelah mencuci tangan hingga bersih, Bhiru bergegas menyiapkan obat salep luka yang tadi ia beli di apotek dalam perjalanan pulang.
Setelah mengenakan bandonya untuk menahan poninya yang mulai memanjang kembali, Bhiru duduk bersila sangat dekat di depan Ranu yang memilih duduk bersila lebih dulu di dekat jendela apartemen Bhiru. Salah satu spot favoritnya setiap kali ia mengunjungi apartemen Bhiru.
"Tolong buka kemeja, Mas." Tanpa basa-basi Bhiru meminta Ranu membuka kemejanya. Bhiru ia yakin luka Ranu bukan hanya di lengan saja. Ia ingat betul bagaimana Ayah kekasihnya itu memukulinya dengan tongkat kayu secara bertubi-tubi dengan cukup keras. Meski pun Ranu menganggapnya sebagai sebuah hukuman yang harus diterimanya dengan lapang dada karena kelakuannya.
Ranu membuka kemejanya warna putihnya. Namun tidak kaos dalamnya.
"Kaos dalamnya juga." Bhiru terdengar sedikit tidak sabar.
"Nggak mau." Ranu menggeleng sambil menyilangkan kedua tangannya menutupi dadanya. Memasang wajah pura-pura tak berdosa.
"Lho kenapa? Gimana caranya aku bisa memeriksa di mana saja luka? Mas kira mataku ini punya penglihatan X-Ray? Pokoknya buka."
"Nggak mau. Mas takut kamu nodai," jawab Ranu sengaja ingin membuat Bhiru tertawa hingga memegangi perutnya sampai guling-guling.
"Udah cukup ngelawaknya? Lama-lama Mas jadi makin mirip Jono deh."
"Enak aja disamain dengan Jono." Ranu menggerutu kecil sambil mengangkat kaos dalamnya hingga melewati kepalanya dan membuat Bhiru seketika terpana menatap tubuh atasnya yang atletis, lengan berotot, dada bidang dan perutnya yang nyaris sixpack.
Ranu lumayan geli menatap wajah Bhiru yang memerah dan masih terpana menatap ke bagian perutnya. Sepanjang mereka menjalin hubungan serius, baru kali pertama ini Ranu memperlihatkan tubuh setengah telanjangnya pada Bhiru. Jadi wajar saja jika Bhiru sampai terpana seperti itu.
"Sampai kapan lihatnya? Aku pakai lagi nih kaosnya."
"Tunggu...aku cuma penasaran." Bhiru lalu menyentuh perut Ranu dengan hati-hati kemudian mengangkat wajahnya sambil menyeringai licik karena Bhiru diam-diam berencana akan membuat perut Ranu menjadi buncit setelah mereka menikah nanti.
"Apa maksud senyuman kamu?"
"Nggak ada. Aku cuma antusias lihatnya. Karena sebelumnya aku cuma pernah lihat di sebuah iklan majalah."
"Iklan apa?"
"Mmm...iklan sempak." Bhiru menyeringai nakal dan berhasil menggoda Ranu hingga membuatnya salah tingkah.
"Dasar," gumam Ranu sambil melemparkan senyuman kesal karena Bhiru berhasil membuatnya mati kutu.
"Tuh kan, ternyata memarnya lebih banyak dari apa yang aku duga sebelumnya." Bhiru yang tengah memeriksa setiap jengkal kulit di tubuh Ranu tampak terpukul dan sedih. Sehingga ingin menangis mengingat apa yang lelaki itu lakukan pada putra kandungnya. "Pasti tadi sakit banget ya, Mas?" Bola mata Bhiru jadi berkaca-kaca memeriksa setiap memar di tubuh kekasihnya.
"Maaf."
"Kenapa malah minta maaf?"
"Membuat kamu terkejut dengan apa yang dilakukan Ayah."
"Lebih dari itu, Mas." Bhiru menggeleng sambil mengusap bola matanya yang basah. "Hatiku hancur," bisiknya dengan nada pilu sembari mulai mengoleskan salep pada luka memar merah keunguan di bahu, lengan atas, dada dan punggung.
"Gimana kalo kita rumahsakit aja? Siapa tahu tulang Mas ada yang patah? Atau ginjal Mas ternyata pecah satu. Jadi sekalian rontgen kalo bisa," lanjut Bhiru bergerak mengelilingi tubuh Ranu sambil terus mengoleskan salep dengan sangat hati-hati pada setiap luka memar Ranu.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE WITH [ OUT ] LOGIC
Любовные романы"Ta-pi saya sedang sakit, Pak. Uhuk...uhukk..." Bhiru melengkapi sandiwaranya dengan berpura-pura batuk dan berharap pak Ranu akan iba lalu percaya bahwa ia benar-benar sedang sakit dan butuh pengertiannya. "Saya dengar dari Kumala kamu cuma kena fl...