Membuka matanya setelah beberapa jam teler karena pengaruh anestesi pasca operasi, yang pertama kali ia lihat adalah sosok yang sontak membuat dirinya membeku.
Pak Ranu?
Dengan sangat jelas, ia melihat sosok bosnya itu tampak duduk bersandar di sofa yang terletak di seberang tempat tidurnya, dengan kedua mata terpejam.
Bukankah seharusnya saat ini lelaki itu bersama Kania, wanita yang baru dinikahinya tadi pagi? Dan bahkan seharusnya mereka berdua sedang menikmati indahnya bulan madu, bukan? Tetapi mengapa justru ada di sini bersamanya?
Tidak ingin menimbulkan suara di tengah keheranannya, Bhiru perlahan bergerak mencoba untuk duduk dan merasakan sedikit rasa nyeri di area perut kanan bawahnya yang terdapat bekas sayatan operasi usus buntunya.
Lalu ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang, mencari tahu di mana tote bag-nya berada. Ia ingin segera memeriksa gawainya yang ia simpan di sana. Teringat akan hasil ujian tertulis beasiswa S2-nya seharusnya sudah keluar dan diumumkan secara online sore tadi. Namun saat ia melihat tote bag-nya berada di dekat pak Ranu, ia menghela nafas merana.
Ketika ia mendengar suara gawai pak Ranu tiba-tiba berbunyi, Bhiru kembali merebahkan tubuhnya dan berpura-pura masih pingsan. Ia yakin, pak Ranu akan terbangun karena mendengar suara panggilan gawainya.
Beberapa detik kemudian, Bhiru mendengar pak Ranu menjawab panggilan telepon yang sepertinya berasal dari pak Bastian, sang presdir perusahaan tempat mereka bekerja yang juga merupakan teman baik pak Ranu.
Dan ia terus berpura-pura belum siuman meski pun pak Ranu telah mengakhiri pembicaraannya.
Beberapa saat kemudian ketika Bhiru mengira pak Ranu kembali tidur, tiba-tiba ia merasakan keningnya di pegang oleh tangan yang besar dan hangat. Sudah pasti pemilik tangan itu adalah pak Ranu, siapa lagi? Masa genderuwo?
Setelah memegang keningnya, Bhiru lalu merasakan tangan pak Ranu pindah untuk membelai lembut pipinya. Membuat Bhiru ingin memekik kaget namun terpaksa harus menahan diri dan berpura-pura masih pingsan supaya tidak ketahuan oleh pak Ranu yang telah memanfaatkan situasi ini.
Setelah membelai pipi Bhiru sebentar, lelaki itu menarik tangannya dan membuat Bhiru penasaran sesudahnya. Apakah pak Ranu telah kembali ke sofa untuk kembali tidur atau bagaimana? Bhiru sudah tidak tahan terus berpura-pura.
Ia pun membuka perlahan sebelah matanya dan melihat pak Ranu tengah kembali menuju ke sofa dan alih-alih merasa lega, leher Bhiru mendadak gatal dan ia tak bisa menahan diri untuk batuk.
"Uhukk!"
Sekaligus membuat nyeri bekas sayatan operasi di perut kanan bawahnya terasa lagi.
Meringis sambil menyentuh bekas operasinya yang tertempel perban, Bhiru mendapati tangan pak Ranu ikut menyentuh bagian perut kanan Bhiru dengan lembut.
"Sakit ya?" Ranu bertanya dengan cemas sembari menatap yang Bhiru yang tampak kaget dengan tindakannya.
Mengangguk dengan canggung untuk menjawab pertanyaan pak Ranu, Bhiru menatap pak Ranu yang tampak khawatir padanya.
"Kenapa bapak bisa ada di sini?" Bhiru bertanya untuk menawarkan rasa ingin tahunya.
"Karena saya dengar dari Jenar kamu masuk rumah sakit." Ranu menjawab sambil memindahkan kursi, meletakkannya di samping tempat tidur Bhiru lalu duduk sambil menatapnya lekat-lekat.
Jenar? Bhiru mengernyitkan keningnya. Tidak mungkin Jenar punya inisiatif memberi tahu pak Ranu kecuali Jenar lah yang menjawab panggilan telepon dari pak Ranu ke gawai Bhiru ketika ia pingsan. Pasti karena itu Jenar memberi tahu pak Ranu perihal ia pingsan di jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE WITH [ OUT ] LOGIC
Romance"Ta-pi saya sedang sakit, Pak. Uhuk...uhukk..." Bhiru melengkapi sandiwaranya dengan berpura-pura batuk dan berharap pak Ranu akan iba lalu percaya bahwa ia benar-benar sedang sakit dan butuh pengertiannya. "Saya dengar dari Kumala kamu cuma kena fl...