Galau

3.3K 425 14
                                    

Setelah hari itu, di mana ia pertama kalinya mengajak Ranu pulang ke Bandung untuk diperkenalkan pada Papa sekaligus ziarah ke makam Mama. Bhiru tidak pernah bisa mengabaikan sikap dingin Papa terhadap Ranu. Bahkan perkataan Papa dua hari yang lalu sebelum ia kembali ke Jakarta pun masih saja terngiang-ngiang di telinganya hingga kini.

"Bhiru, ada baiknya kamu jangan terburu-buru memilih dia jadi calon suamimu?" pinta Papa dengan nada memohon sambil menangkup kedua pipi Bhiru yang sedang berpamitan di teras. Saat itu Ranu telah lebih dahulu masuk ke dalam mobilnya.

"Kenapa, Papa? Bhiru ingin tahu alasannya." Bhiru merasa terpukul ketika Papa meminta hal sulit itu padanya. Melepaskan Ranu ketika bunga-bunga cinta sedang bermekaran indah di hatinya? Begitu syuuulit...

Setelah mendengar hal itu, Bhiru sebenarnya ingin menangis dan bisa saja ia menentang begitu saja permintaan Papa yang membuatnya sedih sekaligus kecewa. Tapi ia juga tidak ingin menyakiti perasaan Papa dengan egonya. Papa adalah satu-satunya yang ia miliki setelah Mama pergi.

Jadi Bhiru berusaha menahan perasaannya.

"Pokoknya Papa ingin kamu pikirkan dalam-dalam tentang hubungan kalian." Papa berpesan sekali lagi dan Bhiru bisa menangkap nada pilu yang tersirat dari kata-katanya. Entah mengapa Papa seolah-olah begitu berat melepaskan putrinya yang kelak akan hidup bersama dengan lelaki lain.

"Apa yang Papa nggak suka dari Mas Ranu? Kalau penyebabnya karena skandal itu, dia nggak seperti yang orang-orang katakan, Pa..."

Papa saat itu tidak menjawab pertanyaan Bhiru yang bernada resah. Malahan Papa menghela nafas panjang, mengusap puncak kepala Bhiru lalu pergi masuk ke dalam rumah. Papa membiarkan Bhiru pergi bersama kekasihnya tanpa lambaian tangan yang biasa Papa lakukan setiap kali Bhiru meninggalkan rumahnya.

"Om, bener Ce...Jangan buru-buru." Bahkan Alvin pun menyuarakan hal yang sama ketika Bhiru berpamitan. "Kalo ada apa-apa, jangan lupa hubungi aku."

"Huh, gayamu Pin. Kamu kira Cece bakalan kenapa-kenapa?!"

"Pokoknya aku akan selalu ada buat Cece. Ingat itu. Nanti pacar Cece juga akan aku pantau dari sini." Alvin memandang ke arah Ranu yang telah menanti Bhiru dengan sorot mata cukup mengintimidasi.

"Cece pastikan juga kecurigaan kamu nggak akan terjadi. Cece pergi ya. Tolong jaga Papa."

***

Dua hari kemudian.

"Apa yang sedang kamu pikirkan?" Suara lirih seorang lelaki tepat di dekat telinganya sontak membuat Bhiru tersentak kaget namun seketika geram lalu melayangkan tasnya secara bertubi-tubi ke punggung pemilik suara.

"Ampun, Bhi! Ampuuun!" Jono mengaduh sambil meringis kesakitan karena punggungnya menjadi sasaran kemarahan Bhiru.

Menurunkan tasnya, Bhiru melepaskan Jono lalu berjalan dengan gusar menuju kubikelnya. Sementara itu Ranu dari ruangannya, memperhatikan tingkah Bhiru dalam diam.

"Galak amat sih, Bhi?! Aku kan cuma bercandaaaa!" Jono bersungut-sungut sambil menuju kubikelnya namun sempat-sempatnya berkata pada Kumala.

"Awasi Bhiru tuh Kum, dari kemarin kayak ayam kena tetelo."

Kumala menegakan tubuhnya untuk melongok ke arah Bhiru yang kini tampak seperti apa yang dilaporkan Jono padanya barusan. 

Bhiru tampak melamun di mejanya sambil memegang keningnya yang seolah-olah seberat jidat gajah.

Jono benar. Bhiru memang tampak aneh sejak kemarin. Mungkinkah penyebabnya karena pernikahan Langit? Sehingga Bhiru begitu terpukul. 

Wajar saja, mereka putus belum ada setengah tahun. Jadi bisa saja Bhiru masih memendam rasa pada Langit.

LOVE WITH [ OUT ] LOGICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang