Entah sudah berapa lama Bhiru tertidur ketika ia terbangun karena merasakan gawai di bawah bantalnya bergetar berkali-kali.
Memeriksa gawainya, Bhiru melihat Pandu yang sedang berusaha meneleponnya. Sedikit panik, Bhiru memandang ke arah pak Ranu yang ternyata tengah tidur lelap di atas sofa. Bhiru merasa sedikit lega. Semoga pak Ranu tidak terbangun hingga pagi, harapnya.
Bhiru lantas menerima panggilan Pandu dengan suara sepelan mungkin.
"Hallo, Ndu..."
"Hallo, Bhi. Maaf ya kalo jam segini aku ganggu tidur kamu." Suara Pandu terdengar lelah dan saat Bhiru memandang ke arah jam dinding, waktu ternyata telah menunjukan pukul dua belas malam. "Karena aku baru punya waktu hubungi kamu, Bhi."
"Nggak apa-apa, Ndu. Kalo sibuk nggak perlu telepon. Mending waktu senggang kamu pakai buat istirahat." Bhiru menjawab sambil matanya terus mengawasi pak Ranu dan berharap bosnya itu tidak akan terbangun mendengar obrolannya dengan Pandu.
"Tapi aku nggak bisa, Bhi. Aku harus tahu kabar kamu." tutur Pandu membuat Bhiru diam-diam tersipu. "Jadi, gimana hasil ujian kamu, Bhi?" terdengar Pandu bertanya dengan nada ingin tahu.
"Aku lulus tahap pertama, Ndu. Besok lusa ujian wawancaranya." Bhiru memberi tahu kabar itu dengan antusias. Bahkan saking antusiasnya ingin bercerita banyak mengenai ujiannya dengan Pandu. Tapi ia tidak ingin menceritakan keadaannya yang sebenarnya di rumah sakit.
Untuk meredam suaranya agar tidak sampai terdengar oleh pak Ranu, Bhiru lantas menarik selimutnya hingga menutupi kepalanya. Mengobrol dengan Pandu di bawah selimut sepertinya cukup aman agar pak Ranu tidak terbangun karena mendengarnya mengobrol dengan Pandu.
Di bawah selimut, mereka pun mengobrol dengan leluasa hingga empat puluh menit kemudian, ketika ia sedang seru-serunya mengobrol tentang makanan enak di Medan, Bhiru baru menyadari ada sesuatu yang aneh dan tampak begitu dekat dengan kepalanya. Sehingga ketika ia menyingkap selimutnya, ia nyaris memekik kaget. Menemukan pak Ranu tengah membungkuk tepat di atas kepalanya sambil menatapnya penuh kecurigaan. Sudah jelas bosnya itu tengah menguping obrolannya dengan Pandu.
"Bapak?!" Meski terkejut, suara Bhiru tetap terdengar berbisik tetapi menutup lubang speaker gawainya agar Pandu tidak tahu apa yang sedang terjadi sekarang ini.
Ranu kembali menegakkan tubuhnya dan diam-diam merasa senang sudah membuat Bhiru terkejut karena ulah jahilnya.
Bhiru pun cepat-cepat mematikan telepon Pandu tanpa berpamitan. Ia akan mengiriminya chat setelah selesai membereskan urusannya dengan pak Ranu.
"Bapak ngapain sih?! Bikin kaget saya." Bhiru menggerutu kesal.
"Saya cuma ingin tahu, jam segini kamu lagi ngapain kasak-kusuk, cekikikan di bawah selimut?" Ranu melipat kedua tangannya di dada, berharap Bhiru akan jujur padanya karena sebenarnya ia tidak mudah dibohongi begitu saja.
"Ng...Ngobrol sama Kumala, pak." Tapi Bhiru malah sengaja berbohong. Ia tidak ingin pak Ranu sampai tahu bahwa tadi sebenarnya dengan Pandu lah ia sedang mengobrol. "Bapak ngapain bangun?"
"Saya bangun gara-gara dengar suara kamu lagi ngobrol sama seseorang." Ranu menjelaskan alasannya dengan nada curiga. Padahal yang sebenarnya ia telah menerka siapa orang yang tadi Bhiru ajak bicara di bawah selimutnya. Sekilas ia pernah mendengar Bhiru memanggil nama Pandu dengan caranya yang khas, 'Ndu'.
"Ya udah, bapak silahkan tidur lagi gih. Saya juga mau tidur." Bhiru lalu menarik selimutnya dan berusaha mengusir pak Ranu.
"Saya nggak bisa tidur lagi," tutur Ranu sambil mengusap wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE WITH [ OUT ] LOGIC
Romance"Ta-pi saya sedang sakit, Pak. Uhuk...uhukk..." Bhiru melengkapi sandiwaranya dengan berpura-pura batuk dan berharap pak Ranu akan iba lalu percaya bahwa ia benar-benar sedang sakit dan butuh pengertiannya. "Saya dengar dari Kumala kamu cuma kena fl...