Keesokan paginya.
Berpapasan dengan Bhiru saat hendak masuk lift sebenarnya adalah salah satu kesempatan bagi Ranu untuk mulai membahas soal semalam. Tapi ketika lift terbuka dan orang-orang berduyun-duyun masuk ke dalam, Ranu mengurungkan niatnya. Apalagi ketika gadis itu tampak terhimpit ke dinding lift karena memilih berdiri berdesak-desakan di belakangnya dengan tampang yang mengenaskan ketimbang berdiri di sampingnya yang tampak lengang.
Iya, gara-gara keberadaan dirinya yang begitu disegani di perusahaan, membuat siapa pun di perusahaan ini enggan untuk berdiri bersebelahan apalagi berdekatan dengannya. Bahkan di dalam fasilitas umum di kantor sekali pun.
Ranu menghela nafas sambil menatap pantulan sosok dirinya pada pintu lift yang tampak kesepian berdiri sendirian di ujung lift sementara beberapa karyawan-karyawati memilih berdiri berdesakan di belakangnya bagai sekumpulan marmut ketakutan, seolah-olah ia monster.
Bahkan sekretarisnya itu juga memperlakukan hal yang sama pada dirinya. Menyedihkan...
Ketika pintu lift terbuka di setiap lantai dan populasi di dalam lift pada akhirnya hanya menyisakan dirinya dan Bhiru, Ranu pun melangkah mundur ke belakang agar lebih dekat dengan Bhiru yang masih memilih berdiri di sudut lift.
"Saya.." Ranu baru membuka mulutnya, tapi Bhiru tiba-tiba menerima sebuah panggilan di gawainya.
Sudah pasti dari lelaki bernama Pandu itu.
Ranu terpaksa diam menahan diri namun diam-diam menajamkan pendengarannya untuk menguping obrolan Bhiru dengan Pandu yang terdengar begitu manis. Jujur, Ranu tidak menyukainya.
"Hallo, Ndu...Iya aku baru sampai kantor. Kamu gimana? Udah di kantor juga?...Ooh lagi sarapan ya? Sarapan apa?...Oh aku belum sarapan. Apa? Kamu mau kirimin aku breakfast box? Nggak usah, Ndu. Terimakasih ya. Beneran nggak apa-apa, karena warga cacing di perutku belum bergerak untuk demo. Hahahaha..."
Dan mereka berdua terus mengobrol hingga keluar dari lift, mengabaikan Ranu yang sengaja berjalan pelan-pelan di depannya hanya agar tidak ketinggalan satu kata pun yang terucap dari obrolan Bhiru dengan Pandu.
Hingga Bhiru menabrak tiba-tiba punggungnya.
"Ouch!" Bhiru mengaduh sambil mengusap keningnya. "Maaf pak maaf." Lalu kembali melanjutkan mengobrol sambil menuju kubikelnya dan masih belum menyadari kalau bosnya itu begitu kesal dan begitu ingin tahu dengan apa yang sedang mereka bicarakan di telepon.
Tidak melakukan apa pun selain mengamati Bhiru dari ruangannya, Ranu melihat Bhiru telah menyudahi obrolannya dengan Pandu dan tampak sedang mengerjakan pekerjaannya seperti biasa.
Ketika gadis itu tampak menuju ke ruangannya dengan membawa setumpuk dokumen dan sebagainya. Ranu kembali bersikap sebagaimana mestinya.
"Duduk." Ia meminta gadis itu tetap duduk saat melihatnya akan pergi begitu saja tanpa menunggu ijinnya.
Menatap Bhiru yang telah duduk di depannya. Ranu menahan senyumnya, meski ia senang Bhiru patuh seperti biasanya.
"Semalam pulang jam berapa?" tanya Ranu sembari pura-pura serius memeriksa dan menandatangani setiap dokumennya.
Mendengar bosnya itu bertanya hal yang tak biasanya, kening Bhiru berkerut heran. Tapi ia tetap menjawabnya, "pukul sebelas, pak."
"Wow." Reaksi Ranu terdengar tidak senang mendengarnya dan membuat Bhiru merasakannya.
"Apanya yang wow, pak?"
"Kamu."
"Saya?"
"Iya, pulang selarut itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE WITH [ OUT ] LOGIC
Romance"Ta-pi saya sedang sakit, Pak. Uhuk...uhukk..." Bhiru melengkapi sandiwaranya dengan berpura-pura batuk dan berharap pak Ranu akan iba lalu percaya bahwa ia benar-benar sedang sakit dan butuh pengertiannya. "Saya dengar dari Kumala kamu cuma kena fl...