"Ada yang bisa dimakan, nggak?" Ranu tiba-tiba mengalihkan pembicaraan di kala Bhiru gencar memintanya untuk segera pulang.
"Bapak lapar?"
Ranu mengangguk dengan wajah memelas seperti anak kecil yang seumur-umur baru Bhiru lihat dengan kedua matanya sendiri dan membuat hatinya yang tak tegaan dengan mudahnya luluh.
"Ya udah. Saya masakin. Bapak mau saya masakin spaghetti?" Bhiru menawarkan karena makanan itu yang termudah dan yang tercepat bisa ia sajikan selain mie instan. Selain itu ia juga berharap lelaki itu akan pulang setelah makan malam.
Ranu kembali mengangguk.
"Ok. Tapi bapak harus lepasin saya dulu." Bhiru mengingatkan lelaki yang lengannya masih saja melingkari tubuhnya bagai seekor gurita yang sedang memerangkap mangsanya.
"Ok." Ranu melepaskan Bhiru dan membiarkan perempuan bertubuh mungil itu melesat dengan cepat menuju dapurnya.
Menatap Bhiru yang tengah mengenakan bando untuk menahan poninya yang telah memanjang sebelum memasak, Ranu yang duduk menungguinya sontak tersenyum geli. Baru kali ini ia benar-benar melihat dengan jelas jika kening Bhiru ternyata sebenarnya lebar alias jenong seperti ikan lohan dan membuat wajah Bhiru tampak berbeda dari pada biasanya.
"Bapak pasti lagi ngetawain jidat saya." Bhiru memasang bibir manyun sambil meletakan panci berisi air untuk merebus spaghetti di atas kompor yang telah ia nyalakan.
"Saya nggak ngetawain kamu." Ranu berkilah meski tuduhan Bhiru memang benar adanya. Ia memang tersenyum geli memandang kening lebar Bhiru. Tapi bukan untuk menertawakannya melainkan karena ia senang melihat Bhiru yang tampak berbeda dengan tanpa poni andalannya.
"Lalu apa maksud dari senyum tadi?" Bhiru bertanya sambil membuka lemari gantungnya hendak meraih spaghetti instan. Namun karena tubuhnya yang tak tinggi, ia tidak bisa langsung meraihnya. Untuk meraih benda-benda di dalam lemari gantungnya, biasanya Bhiru akan menggunakan bangku yang biasa ia pakai untuk pijakan. Tapi kali ini ia tidak berpikir untuk mencari bangkunya. Bhiru memilih berjinjit untuk berusaha meraihnya. Ia yakin dapat meraihnya meski tanpa bantuan bangku atau sejenisnya.
Namun ketika ia hampir berhasil menggapainya, ia dikejutkan oleh tangan pak Ranu yang tiba-tiba sudah terulur untuk membantu menggapainya.
Lelaki itu kini telah berada tepat di belakang Bhiru, hingga gadis itu bisa merasakan tubuh pak Ranu yang menempel dan bergesekan dengan punggungnya. Membuat jantungnya kembali berdebar lebih kencang dari biasanya.
"Ada lagi yang mau kamu ambil?" tanya Ranu sambil melongok ke dalam lemari gantung. Memindai seluruh sudut dalam lemari Bhiru yang tampak sedikit berantakan.
"Saus spaghetti, Pak..." Bhiru menyahut dengan nafas tertahan. Ia bahkan tidak berani banyak bergerak karena tubuh pak Ranu begitu dekat menempel di punggungnya seperti cangkang keong.
"Ini?" Ranu memperlihatkan kemasan saus instan spaghetti berwarna merah yang ia temukan.
Bhiru mengangguk canggung sambil meraihnya dengan cepat.
"Ada lagi?" Kali ini Ranu sengaja berbisik tepat di telinga Bhiru untuk menggodanya dan berhasil membuat Bhiru semakin tampak tidak tenang.
"Mmm..." Bhiru mengingat lagi apa yang masih ia butuhkan sembari bola matanya bergulir menatap ke atas ke arah pak Ranu yang menjulang tinggi di belakangnya.
"Keju?" Ranu menerka isi kepala Bhiru yang jelas membeku karena ulahnya barusan.
Bhiru kembali mengangguk kikuk sambil meraih keju dari tangan pak Ranu.
Setelah mengambilkan semua yang Bhiru butuhkan, Bhiru mengira pak Ranu akan kembali duduk ke tempatnya semula begitu saja. Tapi ternyata dugaannya meleset karena Bhiru malah mendapatkan kecupan kilat di keningnya yang lebar dan mulus seperti landasan pesawat dan ia tak sempat mengelak.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE WITH [ OUT ] LOGIC
Любовные романы"Ta-pi saya sedang sakit, Pak. Uhuk...uhukk..." Bhiru melengkapi sandiwaranya dengan berpura-pura batuk dan berharap pak Ranu akan iba lalu percaya bahwa ia benar-benar sedang sakit dan butuh pengertiannya. "Saya dengar dari Kumala kamu cuma kena fl...