19- Ketakutan yang Menjadi

490 108 59
                                    

"Kak Jev gak ke kampus?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kak Jev gak ke kampus?"

Jevan menatap lelaki berseragam putih abu di seberangnya lalu menggeleng. Hari ini dirinya tidak ada kelas. Jadi, daripada berdiam diri di rumah, lebih baik ia menemani Zian. Sebenarnya sore nanti ada kegiatan UKM, tapi Jevan sepertinya akan izin. Ia merasa tak bersemangat mengikuti kegiatan.

Sebelum datang ke sini, dirinya sempat berdebat lagi dengan sang papa. Alasannya karena Jevan katanya sering keluyuran tak jelas, padahal ia tak pergi ke sembarang tempat selain kampus, rumah sakit dan kosan Yaris.

Jevan juga memang sengaja jarang pulang karena malas bertengkar, ujungnya sang mama yang akan disalahkan. Ia sudah tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi kebencian Rendra yang selalu menyamakannya dengan mendiang maminya.

"Jangan ngelamun, Kak!"

Teguran tersebut membuatnya terkesiap. Jevan kembali melanjutkan kegiatannya dengan malas. Kalau saja tidak ingat mamanya dan Jikara, ia tak akan peduli mau sakit atau tidak. Namun, seterpuruk apa pun, Jevan selalu gagal menyerah. Ada saja hal yang memaksanya untuk bertahan, termasuk Jikara.

Lelaki itu menatap Zian yang tampak lebih kurus dari sebelumnya. Jevan tahu, anak remaja di depannya terus menyalahkan diri atas apa yang terjadi. Zian mungkin sudah bisa tersenyum, tapi diam-diam masih selalu menangisi kakaknya.

Dering ponsel menyentak keduanya. Zian segera mengangkat telepon dari sang mama Wajah lelaki itu berubah pucat. Zian segera bangkit dan berlari meninggalkan Jevan yang seketika mengikuti. Beruntung mereka sudah membayar makanannya terlebih dahulu.

Sampai depan ruangan, sepasang suami istri berdiri di dekat pintu. Firda berada dalam rengkuhan suaminya yang berusaha menenangkan.

Zian segera mendekat dengan raut cemas. "Ada apa, pah?" 

"Kakak kamu tadi kejang-kejang, mama ... mama takut," Firda terisak. Masih teringat jelas saat putri sulungnya tiba-tiba bereaksi seperti itu.

Mendengarnya membuat kaki Jevan terasa lemas. Kilasan bayangan kepergian maminya terlintas begitu saja. Bagaimana kalau terjadi hal buruk pada Jikara?

"Sus, bagaimana keadaan putri saya?" tanya Dion pada seorang perawat yang tampak terburu-buru membawa peralatan.

"Pasien dalam keadaan kritis!" ucap perawat tersebut sebelum memasuki ruangan.

Mata Jevan membeliak, badannya luruh seketika. Inikah balasan atas penantiannya beberapa bulan terakhir?

Mengusap wajahnya kasar, ia menatap pintu bercat putih di hadapannya tanpa peduli dengan pandangan iba dari sekitar.

Suara tangis wanita paruh baya terdengar menyayat di telinga. Pula lelaki berusia remaja yang sudah berlari menjauh karena tak ingin mendengar hal menyakitkan bernama kehilangan. Zian merasa tidak sanggup dengan semuanya.

JIWA JIKARA✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang