Bunda, aku ingin kembali.
***Gadis itu hanya bergeming, bahkan saat melihat kedua orang tuanya belari dengan raut penuh khawatir lalu tangis mereka tumpah, Jikara masih di sana. Duduk memandangi dengan hati hancur.
Andai saja bisa, ia ingin berlari ke pelukan bunda. Berharap rasa takutnya akan segera hilang. Jikara ingin mendengar kata semua akan baik-baik saja. Namun, tetap saja, tak ada satu pun yang mampu melihatnya.
Jikara semakin pesimis. Mungkin selamanya memang tak akan pernah ada yang melihat keberadaannya.
Apakah ini sebuah hukuman?
Padahal, Jikara tidak pernah berbuat jahat pada siapapun. Untuk masalahnya dengan Kanasya, ia merasa bukan dirinya yang bersalah. Kejadian beberapa tahun lalu murni karena ketidaktahuannya.Derit pintu membuat semuanya menoleh dan sontak berdiri.
"Bagaimana keadaan putri saya, Dok?" tanya Firda melangkah cepat menghampiri dokter yang menangani putrinya. Dio, sang suami mengusap bahunya, berusaha menenangkan.
"Pasien mengalami pendarahan otak. Untuk mengetahui seberapa besar tingkat keparahannya, kami akan melakukan CT-scan dan beberapa pemeriksaan terlebih dahulu."
Tubuh Firda lemas seketika. Beruntung Dio segera memeganginya. Lelaki paruh baya itu kembali menatap sang dokter. "Terus keadaannya sekarang?"
Helaan napas berat terdengar. Lelaki berseneli itu mau tidak mau harus menyampaikan berita tersebut. "Karena benturan keras di kepalanya, pasien sampai saat ini masih belum sadar. Kita berdoa saja semoga pasien hanya mengalami cedera ringan."
Firda tidak sanggup mendengar ucapan sang dokter. Wanita itu menangis dan menggumamkan nama putri sulungnya. Dio memeluk istrinya, berusaha memberi kekuatan meski hatinya sama hancurnya.
Langit dan Tiana yang masih berada di sana sejak tak bisa menyembunyikan rasa sedihnya. Mereka semua merasakan hal sama. Rasa takut yang begitu besar, yaitu kehilangan gadis yang mereka sayangi.
Mendengar ucapan dokter, perasaan Jikara mencelos. Ia tidak suka dengan keadaan seperti ini, tak mau ditangisi seolah dirinya akan benar-benar pergi.
Jikara mengarahkan pandangan pada sosok di seberangnya. Remaja yang sebentar lagi berusia 17 tahun itu tengah menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Bahunya bergetar, isakan terdengar sampai telinganya.
Zian masih belum lelah menangis sejak tadi. Hal tersebut membuat Jikara merasa bersalah. Tidak seharunya ia membuat orang-orang yang disayanginya bersedih seperti ini. Namun, apa mau dikata? Dirinya tidak memiliki kuasa atas semuanya.
***"Lo kok di sini?"
Lelaki berdagu runcing itu menoleh diiringi dengan dahi mengernyit. Sehari-hari, dirinya memang akan berada di tempat ini, baik sepulang dari kampus maupun saat hari libur.
KAMU SEDANG MEMBACA
JIWA JIKARA✔️
Fantasi"Lo nggak capek tidur terus, Ji?" Tak ada jawaban. Hanya bunyi monitor yang terdengar memenuhi ruangan. Lelaki itu menggenggam erat tangan gadis di hadapannya yang tak kunjung membuka mata setelah kecelakaan dua minggu lalu. Frustasi, ia bangkit da...