Hari pertama pasca putus dari sang kekasih, Jikara merasa baik-baik saja. Tidak wajar memang, tapi itulah yang ia rasakan. Sebenarnya ada sedikit penyesalan, ada yang kosong disudut hatinya. Namun, bukan karena hal bernama cinta, melainkan kebersamaannya dengan Langit sudah menjadi sebagian dari rutinitasnya selama tiga tahun terakhir.
Justru Jikara merasa lega lebih mendominasinya. Pulang ke rumah, ia langsung memberi tahu kedua sahabatnya yang memberikan reaksi berbeda. Jika Kanasya menyambut gembira, maka berkebalikan dengan Tiana yang masih sulit menerima kenyataan.
Gadis itu sempat mencak-mencak lewat telepon, tapi Jikara berusaha memberikan pengertian bahwa mengakhiri hubungan merupakan keputusan bersama karena perasaan yang sudah tak lagi sama. Jikara tahu, berat untuk Tiana menerima itu semua, tapi ia juga tak bisa memaksakan hubungan mereka.
"Kak! Kata bunda sarapan dulu!"
Jikara yang sedang menyisir rambutnya menoleh ke arah pintu. Didapatinya Zian sudah berdiri dengan seragam yang melekat pada tubuhnya. Kebetulan hari ini Jikara ada jadwal kuliah pagi.
"Iya, kakak bentar lagi turun. Kalau mau makan duluan aja! Entar kamu kesiangan," ucap Jikara yang mendapat anggukkan sebelum kemudian sang adik berlalu.
Gadis itu mengambil tas dan berjalan sembari menatap ponsel. Ia menuruni tangga dengan hati-hati. Setelah benar-benar sembuh, Jikara kembali tidur di kamarnya di lantai dua.
Ia sempat berhenti di pertengahan tangga. Jikara ragu untuk mengirimkan chat pada seseorang. Tepatnya meminta berangkat bersama ke kampus.
Jikara: Hari ini ada matkul gk Jev?
Belum ada balasan, Jikara melajutkan langkah menuju dapur. Zian dan sang ayah sudah mulai sarapan, sedangkan bundanya tengah mencuci peralatan bekas memasak.
"Kakak makan dulu cepet, nanti kesiangan!" ujar Firda setelah melihat keberadaan putri sulungnya.
Jikara menjawab dengan gumaman kemudian duduk di sebelah adiknya yang tampak lahap memakan nasi goreng. Zian segera menggeser piringnya, berjaga-jaga dari kejailan kakaknya.
Melihat itu, Jikara berdecak. Ia sedang tidak berminat untuk membuat sang adik kesal. Dirinya kini menunggu balasan chat dengan gelisah.
Jikara mengambil piring dan nasi goreng dengan tak semangat. Sepertinya pagi ini ia tidak bisa berangkat dengan lelaki itu.
"Makan yang banyak, Sayang!"
Jikara menatap sang bunda lalu mengangguk. "Iya, Bun. Nanti nambah lagi."
Satu suapan masuk ke mulutnya. Mata Jikara melirik pada benda pipih di samping piring. Rasa kecewa mulai menggerogotinya.
Saat hendak kembali menyuapkan nasi dari sendoknya, Jikara mendengar getaran diikuti dengan ponselnya yang menyala. Segera ia memasukan sesendok nasi tersebut dan mengambil alat komunikasi milikinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JIWA JIKARA✔️
Fantasía"Lo nggak capek tidur terus, Ji?" Tak ada jawaban. Hanya bunyi monitor yang terdengar memenuhi ruangan. Lelaki itu menggenggam erat tangan gadis di hadapannya yang tak kunjung membuka mata setelah kecelakaan dua minggu lalu. Frustasi, ia bangkit da...