🔉🔉kata lebah kecil, kakak-kakak yang baca jangan lupa klik bintang di pojok kiri ya,komen juga biar teteh semangat nulisnya hihi😋😋
Happy reading all,hope you enjoy 😘😘
🐝🐝🐝
Ntah sudah berapa kali Galung memejamkam matanya, mencoba tenang meski segala usahanya berakhir sia-sia. Karena yang terjadi adalah tangannya akan terus otomatis mengacak rambutnya, menunjukan betapa frustasi ia saat ini.
Padahal baru 15 menit ia menunggu seseorang yang kemarin memintanya untuk bertemu, namun rasanya seperti sangat lama sekali. Sampai membuatnya berfikir untuk kabur saja saat ini.
Galung terus mencoba terlihat tenang, tangannya pun saling meremat satu sama lain demi mengubur rasa gugupnya. Ya setidaknya itu yang terus ia lakukan sampai akhirnya suara derap langkah mendekat membuat fokusnya buyar begitu saja.
Senyum kotak khasnya muncul, dengan tubuh yang otomatis berdiri mempersilahkan lelaki di hadapannya ini untuk duduk.
"Duduk duduk, maaf tadi di jalan sedikit macet," Ucap lelaki yang tak lagi muda itu.
Galung menggeleng cepat. "Engga ko, Yah. Ga telat, Galung aja yang datengnya kecepetan."
Lelaki yang tak lain dan tak bukan adalah ayah dari Fabia itu hanya mengangguk tenang sembari terus menatap Galung dengan pandangan yang sulit di artikan.
"Ayah mau pesen apa? Galung sengaja belum pesen, biar bareng aja," Lanjutnya lagi berusaha se sopan mungkin di hadapan lelaki yang mungkin sebentar lagi akan membuatnya uring-uringan.
"Coba pilihin sama Galung buat Ayah." Ucapan itu, nyatanya mampu membuat Galung sedikit terpaku untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya mengangguk dan memesankan makanan yang menurutnya cocok bagi Ayah Bia.
Setelah selesai memesan, hening tercipta untuk waktu yang cukup lama. Tak ada yang berniat membuka percakapan sama sekali kala itu, keduanya terlihat menikmati hening dan kesibukan pikirannya masing-masing.
Sampai pesanan mereka datang pun, keduanya masih mengatup bibir masing-masing. Hidangan itu kini tersimpan apik di hadapan mereka, Galung tadi memang sengaja tak membeli begitu banyak. Hanya hidangam utama, minum dan juga satu jenis snack untuk penutup jika saja Ayah Bia ingin. Karena sejujurnya ia begitu gugup, rasa takutnya sangat besar sampai rasa laparnya pun menguap ntah kemana.
"Di makan dulu Ayah, kalau makanannya ga cocok bisa Galung pesenin lagi," Ucapnya ramah.
Sementara Ayah menggeleng, sambil memajukan kursinya ia berucap. "Engga, ini Ayah suka ko. Pilihan Galung emang ga pernah salah."
Ntah apa maksudnya, yang jelas kini perasaan Galung semakin tak enak. Bahkan ia menatap makanan di hadapannya ini dengan amat tak minat, untung saja porsi pesanannya tak begitu banyak. Karena untuk saat ini ia takut perutnya tak akan menerima jika di isi terlalu penuh.
Untuk kali ini keduanya berbincang hangat, hening tak lagi menyelimuti mereka karena Ayah sesekali bertanya tentang hal ringan. Obrolan itu terus berlanjut sampai makanan mereka habis, dan keduanya kompak mengesampingkan piring kosong mereka masing-masing.
Setelah itu, Ayah berdeham pelan. Mengubah posisinya agar lebih nyaman, lalu menatap Galung beberapa saat.
"Sekarang saya ngerti, kenapa anak saya jatuh sedalam itu sama kamu." Ucapan pembuka itu nyatanya mampu membuat tubuh Galung seakan kehilangan fungsinya. Lidahnya bahkan kelu hanya untuk sekedar membalas perkataan tadi.
"Kamu baik, kamu tampan dan kamu sangat pintar menempatkan posisi dimana pun itu. Bahkan di saat kamu tegang sekalipun," Ucap Ayah dengan kekehan di akhir kalimatnya.
"Ayah kenal Galung juga udah bukan setahun dua tahun lagi, sedikitnya paham kamu itu bukan anak yang neko-neko. Cuma sejujurnya, pas saya tau fakta kalau kamu sebab utama anak saya terpuruk bertahun-tahun yang lalu. Rasanya saya pengen marah, tentunya saya ngerasa itu ga adil."
Lelaki itu kini menghela nafas. "Ah, anak yang saya kira baik ini ternyata pernah menggores luka terlalu dalam bagi bidadari saya. Ah ternyata ia pernah sejahat itu di masa lampaunya. Ayah hancur saat tau semuanya, gimana bisa Ayah jaga Bia setengah mati dan kamu menghancurkannya semudah itu? Gimana Ayah berjuang buat tetap membuatnya utuh dan kamu malah mendorongnya sampai ga berbentuk."
"Ayah, maaf." Galung menunduk, rasanya seperti terpukul telak. Tak ada pembelaan apapun, karena semuanya bermula memang dari kesalahan Galung.
Hanya maaf yang bisa ia ucapkan, hanya maaf yang ia harap mampu meringankan hati Ayah saat ini. Tamparan telak itu membuatnya kian merasa bersalah, ntah pada Bia atau keluarganya.
Benar, saat keluarganya menjaga Bia agar tak hancur, ia dengan bodohnya malah mendorong gadis itu sampai tak berbentuk. Parahnya lagi, Galung meninggalkan Bia begitu saja, tanpa kata dan tanpa berniat membantunya menyusun kepingan yang telah hancur itu.
Dan kini, saat Bia sudah kembali kokoh dengan tak tahu dirinya ia kembali hadir. Berlutut untuk memohon agar di beri kesempatan untuk bisa memperbaiki segalanya, bukankan itu lucu?
Galung, bahkan Bia sekarang udah jauh lebih kuat, dia udah baik-baik aja. Terus apa yang mau lo perbaiki? Teriaknya pada diri sendiri.
"Saya tau ini baru kemarin, karena anak nakal itu masih menjaga baik nama kamu di hadapan semua orang. Bahkan di saat semua yang udah kamu lakuin dia tetep bungkam. Udah lama saya ga liat Bia nangis, Galung. Karena saya tau sekuat apa dia, tapi tempo hari dia nangis sendirian di kamarnya. Besoknya mata dia menyipit sempurna, dan saat itu saya baru tau kalau lagi-lagi kamu alasan Bia nangis."
Ayah menjeda kalimatnya untuk beberapa saat, ia bahkan terlihat jelas menghela nafas lelahnya.
"Saya boleh minta tolong sama kamu? Tolong cari aja perempuan lain Galung, jauhi anak Ayah yang rapuh itu. Saya minta tolong cukup, jangan lagi buat luka di hatinya, ya? Maaf kalau Ayah dan Defrik lancang, bahkan tadinya kita ga mau sejauh ini. Tapi ternyata jalan ini kelihatannya jalan yang terbaik untuk kita semua, terutama buat Bia."
Galung lantas otomatis menegakkan kepalanya, meski sudah mampu menebak sejak awal kemana arah pembicaraan ini. Tapi tetap saja Galung tak siap, sama sekali tak siap.
"Ayah, tolong jangan bilang gitu. Maaf, Galung tau Galung salah besar, semuanya berpusat ke Galung. Tapi tolong jangan jauhin Bia dari Galung lagi Ayah. Galung butuh Bia, Galung sayang Bia, " Ucapnya melirih di akhir kalimat.
Dan kalimat itu mengundang kekehan kecil juga seulas senyuman miring di wajah Ayah. "Terus kamu fikir anak saya dulu ga sayang kamu? Ga butuh kamu? Dia bahkan untuk pertama kalinya mengemis perhatian, untuk pertama kalinya dia tunduk atas rasa sayangnya yang terlampau besar sama kamu, Galung. Terus sekarang kamu datang lagi saat dia udah bangkit sendirian, dimana letak rasa malu kamu?" Tanya Ayah dengan tenang. Seluruh kata yang di ucapkan nya terdengar tanpa emosi, namun jelas itu menampar Galung berkali-kali.
"Tolong ya? Saya ga minta kamu pergi jauh, hanya tolong jangan muncul sebisa mungkin di hadapan Bia, jangan lagi ganggu dia, jangan lagi ngegores luka. Cukup Galung, maafin saya juga lancang gini. Tadinya ga mau sejauh ini, cuma saya ga akan siap lagi kalau liat Bia kembali hancur. Tolong mengerti, ya? "
Ucapan itu menjadi ucapan penutup pertemuan mereka siang itu, karena setelahnya. Ayah bangkit sambil menepuk pundak Galung dan pergi meninggalkannya sendirian.
🐝🐝🐝
Hayoloh Galung hayoooooooo, coba mana kapalnya Galung Bia kasih dukungannya cobaa wkwkwkwk.
Btw, jangan lupa bahagia sahabat lecillkuuu 🐝💜🐝💜🐝💜

KAMU SEDANG MEMBACA
After Letting You Go
Teen FictionStart : 7 Januari 2021 End : Ayo save dulu aja kak, siapa tau jodoh sama ceritaku yakan. Ceritaku yang ini berkaitan ya sama cerita : -Endless Maze -Love Swan -Abyss of Pain -Second Pride -Invisible Rope -Gade of Regret Jadi boleh ya mampir juga ke...