44. Hari tanpa dia

602 39 1
                                    

KALAU ADA TIPO TOLONG TANDAI DAN HAPPY READING

"Kak, seriusan kita satu bulan disini? Kenapa nggak latihan di sekolah aja sih?"

Abim menyesap kopi hitam yang sudah tinggal separuh. Matanya mengelilingi penginapan kecil tempat mereka tinggal. Memang, guru penanggung jawab berbeda penginapan dengan mereka. Apalagi baginya, sesuatu ini memang mendadak semua, dan memang nilai fisikanya yang paling tertinggi, bahkan dirinya mendapatkan tawaran beasiswa sampai lulus S1 untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Abim masih bingung, menolak atau menerima tawaran itu.

Mengambil keripik singkong balado, menelitinya, Abim mengedikkan bahu tidak tau menjawab pertanyaan Jojo adik kelasnya itu.

"Kalian tau, kenapa kepsek nggak biarin kita semua latihan dulu di sekolah?"

Abim menatap satu persatu adik kelas dan juga teman seangkatannya.

"Karena beliau tau, kita akan cepat bosen. Kalau kita berangkat lebih cepat dan sekolah nyewa penginapan ini." Abim melirik seluruh penjuru penginapan. "Berarti mereka semua pengen kita memenangkan olimpiade ini semua, secara nggak langsung, pihak sekolah pengen kita bayar semua ini dalam bentuk kemenangan olimpiade."

"Bener juga, Kak," ungkap Jojo setuju dengan pemikiran kakak kelasnya ini.

Abim memakan keripik di tangannya, menyesap kopinya kembali, Laki-laki itu mengambil botol plastik bekas minuman soda milik Jojo. Menidurkan botol diatas meja, Abim melirik ketiga teman olimpiade yang juga duduk mengelilingi meja bulat itu.

"Mau main TOD?"

"Nggak mau, Kak. Alif tadi sehabis turun dari pesawat udah ngajak Jojo sama Kak Yuni nobar."

"Kalian mau nobar? Yaudah gua mau keluar cari angin." Abim berdiri, mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja, Abim melangkah keluar penginapan.

Menduduki kursi tamu di depan pintu, laki-laki berkaos hitam itu hanya menatap layar ponsel yang mati. Sejujurnya ia ingin mengabari Geha disana, ingin memulai video call atau telfon-an. Menghela nafas mengingat semua kejadian ini, ia mengurungkan niatnya.

"Apa gua chat aja kali? Tapi kalau nggak dibales gimana?" Abim berdiri, ia mondar-mandir. "Tapi dia istri gua harus tau semuanya."

***

"MAMA INI KITA MAU BANGKRUT APA GIMANA? LILIN CEPAT! BI MANI, MAMA, PAMAN JONI! GEGE TAKUT ADA YANG KELUAR DARI DALAM KEGELAPAN INI."

Brak!

"AAAAAAA GUA BARU BILANG APA ANJIR, BENER KAN!" Pekik Geha begitu keras, melempar seluruh bantal yang berhasil ia raba, melemparnya kearah seseorang yang memegang senter sengaja diarahkan di depan wajah.

"MAAAAAAAAAAAAAAAAA!"

"Apa sih, Nak? Ini Mama." Kela menjauhkan senter dari wajah, sengaja menyoroti wajah Geha, membuat gadis itu mengumpat dalam selimut.

"Mama ih! Jangan nakut-nakutin, deh! Kalau Gege jantungan terus mati gimana?"

Kela membuka laci meja rias, mencari lilin, namun, lilin yang biasanya ada didalamnya, sekarang hanya tinggal kardusnya saja.

"Mama mau ngambil lilin dulu."

Merasa langkah kaki Mamanya menjauh, Geha menyembulkan kepalanya dari dalam selimut. Benar, cahaya yang tadinya lumayan memerangi kamarnya sekarang raib begitu saja.

"MAMA!!!"

Geha menyibak selimut tebalnya, berusaha meraba kasur, mencari benda pipih yang selalu menemaninya, tapi, kenapa saat dibutuhkan semuanya menghilang? Terpaksa, Geha memilih keluar kamar meraba sekitarnya, syukur-syukur ia berharap tidak kejedot atau terjatuh dari tangga.

Stingy for shopaholic (LENGKAP ✅) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang