43. Bandara

475 36 2
                                    

Kewajiban kalian kalau memasuki cerita ini adalah, harus dukung sampe end, gamau tau!

Maapkeun kalau ada tipo, dan happy reading ❤️



Kalau bukan ada panggilan mendadak dari pihak sekolah, Abim tidak akan sepagi ini berdiri menarik koper di depan pintu kamar bercat putih tulang. Melirik surat yang ditulisnya semalam, Abim masih ragu akan mengetok pintu itu atau meninggalkannya di bawah pintu.

Saat dirinya sibuk dengan suara yang memenuhi otaknya. Sebuah tepukan di bahu kirinya berhasil mengembalikan kesadarannya.

"Nona Geha dari tadi malam belum makan, bahkan pipi gadis itu semakin tirus. Nak, kalau ada masalah segera selesaikan dengan cepat."

Abim menoleh, menatap lesu wanita yang selalu mengurus rumah ini. "Bi, Geha kira-kira udah bangun belum?"

"Biasanya belum, apa mau Bibi bangunkan?"

Abim masih terlihat ragu-ragu, sesekali mengalihkan pandangannya menatap pintu bercat putih itu.

"Tapi dikunci," ucap Abim terselip rasa sedih.

"Bibi ambilkan kunci cadangan. Mau?"

"Boleh, jangan lama-lama, Bi. Saya harus segera kumpul."

"Siap!"

Abim terus memperhatikan punggung Bi Mani. Matanya lalu kembali terfokus ke pintu yang masih tertutup rapat, melamun dengan isi kepalanya yang begitu banyak. Tidak menunggu lama, suara langkah kaki kembali membuat lamunan Abim terpecahkan. Seseorang menyodorkan kunci kamar, Abim tersenyum lalu memasukkan kunci itu pada lubangnya.

Ceklek

Pemandangan yang pertama kali ia lihat adalah gulungan selimut tebal. Jika dilihat dari jauh seperti kepompong yang sedang berproses menjadi kupu-kupu. Abim menghampiri gulungan itu, sedikit menyibak sehelai kain yang menutupi wajah bantal Geha.

Senyuman tipis sengaja ia pancarkan. Menatap gadis itu yang sudah beberapa hari ini wajah didepannya selalu marah-marah. Mencondongkan badan, tangannya terulur membelai lembut pipi Geha. Benar ucapan Bi Mani, pipi ini yang dulunya tembam sekarang agak tirus.

"Ge, gua pamit dulu. Jangan nakal-nakal ... atau pas gua balik gua hukum lo."

Abim menatap Bi Mani yang menunduk. "Bi, saya minta tolong ambilkan roti sama selai coklat ya?!"

"Baik."

Abim berjongkok, menumpukan tangannya dibawah dagu, memperhatikan wajah teduh itu. Tangannya terulur mengelus garis-garis halus dibawah mata Geha.

"Bangun, Ge."

"Eughh iya entar." Geha membelakangi Abim.

Abim menggoyangkan bahu Geha namun, empunya cuma melenguh panjang. Bi mani memasuki kamar dengan langkah hati-hati sembari membawa nampan.

Abim menoleh lalu mengambil nampan dari tangan Bi Mani, meletakkan di lantai, ia menhambil lalu membuka tutup selai coklat dan membuka bungkus roti tawar, Abim mengoleskan selai secara perlahan hingga merata.

Meletakkan piring yang berisi selai roti diatas meja kecil di samping nya, Abim kembali memberikan nampan itu ke Bi Mani.

"Makasih, Bi."

"Sama-sama, Bibi pergi dulu."

Abim mengangguk. Meletakkan surat di samping piring, ia mendekatkan wajahnya ke kening Geha.

Cup

Menjauhkan wajahnya sembari tersenyum, dia mengelus rambut Geha.

"Gua tunggu lo di bandara ... Gua harap lo bisa dateng tepat waktu."

Stingy for shopaholic (LENGKAP ✅) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang