(TAMAT 16 SEPTEMBER 2024)
Rayner Jeffrey Saloka, dua puluh tiga tahun, model, merasa bahwa hidupnya terkekang oleh perlakuan kakak dan kedua orangtuanya yang masih menganggapnya seolah anak kecil.
Sebuah insiden yang membuatnya hampir masuk penjar...
[Chasing The Bodyguard sudah sampai chapter 06 di Karya Karsa]
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
BR-V metalik yang dikemudikan Damar berhenti di depan bangunan empat lantai di kawasan sibuk Kemang. Ketika berangkat tadi, pemuda itu bilang kalau dia bisa menyetir dan punya SIM karena pernah jadi sopir pribadi seorang pejabat. Makanya, aku kemudian memutuskan membiarkan Damar menyopiriku alih-alih membawa mobilku sendiri seperti biasanya.
"Jadi ini tempat kerjanya Mas Rayin, ya?" Aku baru saja melepaskan seatbelt ketika pertanyaan itu membumbung di udara. Aku melirik Damar sekilas, terkikik kecil melihat penampilan out of date pemuda itu. Siang ini, dia membiarkan tubuhnya terbungkus setelan hitam (kalian tahu setelan berwarna biru tua yang biasa dikenakan satpam-satpam di mall atau perkantoran, bukan?) seolah dia ini adalah sopir pribadiku. Besok-besok, sepertinya aku perlu membelikannya lebih banyak pakaian kasual agar dia terlihat lebih manusiawi.
"Hari ini aku ada pemotretan untuk majalah Mar," kataku meraih sling bag di jok belakang. "Dan omong-omong, aku nggak mau lihat kamu pakai pakaian kayak gini lagi besok-besok."
Damar menggaruk kepalanya yang kuyakin sama sekali tidak gatal. "Tapi biasanya, saya suka pakai baju ini buat bekerja lho, Mas. Kalau saya pakai baju biasa, nanti saya bisa dimarahi sama Pak Micky."
Bukan Damar namanya kalau tidak membuatku geleng-geleng kepala dengan kepolosannya. "Begini ya, Damar. Mulai sekarang, bos kamu itu aku, bukan Micky. Gaji kamu nanti pun, juga bakal diambilin dari gaji aku. Jadi aku yang berhak buat ngatur-ngatur kamu harus berpenampilan dan pakai baju seperti apa. Lagipula, jika kamu pakai pakaian begitu, kamu akan kelihatan kayak sopir pribadi ketimbang bodyguard-ku."
Di depan kemudi, aku bisa melihat Damar sedikit bingung dengan perkataanku. Selain polos, sepertinya Damar ini memang tipe laki-laki yang suka memikirkan sesuatu secara matang sebelum melakukannya.
Tanpa menunggu pemuda itu selesai dengan pikirannya, aku memilih membuka pintu dan keluar dari mobil. Hari ini, ada ada dua sesi pemotretan dengan salah satu majalah gaya hidup yang terkenal di Ibu kota yang harus kujalani. Dan biasanya, pemotretan akan berlangsung sampai sore atau bahkan malam.
Melangkahkan kaki memasuki bangunan yang didominasi warna abu-abu tersebut, aku membiarkan resepsionis menyapaku dan mengatakan bahwa Micky sudah menunggu di lantai empat. Aku menuju lift, kemudian membiarkan Damar mengarahkan jarinya ke angka empat pada tombol di papan touchless.
Tak perlu lima menit untuk sampai di lantai yang kami tuju, pintu lift terbuka dan menampakkan sebuah studio berukuran besar yang dipenuhi dengan kamera pun properti pemotretan. Juga beberapa kru yang terlihat sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Seperti dugaanku, Micky sudah di sana. Manajerku itu telihat sibuk mengobrol dengan perwakilan dari majalah.
Memberikan arahan pada Damar untuk membawa tas dan jaketku ke kursi, aku menuju meja wardrobe, membiarkan salah seorang make up artis yang sudah stand by sejak tadi mendandani penampilanku.