26. Keresahan di Dalam Dada

128 15 1
                                    

[ Full chapter sampai tamat sudah tersedia di karyakarsa.com/bgstito]

“Mas Rayin lama banget sih pamitan sama Mas Rangganya?”

TEPAT ketika aku baru saja menjatuhkan pantatku ke atas kursi mobil, Damar sudah lebih dulu melemparkan pertanyaan itu. Sekarang, pemuda itu nampak menyandarkan kedua sikunya ke atas kemudi sementara tangan kirinya nampak memutar-mutar ponselnya dengan bosan.

Melemparkan parka dan tas tanganku ke jok belakang, aku lalu memilih merebahkan bahuku yang lelah ke sandaran kursi yang empuk. “Oh, come on, Mar. Aku tadi cuma sekadar basa-basi aja kok sama Rangga. Kami berdua adalah rekan sepekerjaan sekarang, masa iya aku nggak akrab sama dia?”

Tak puas dengan jawabanku, Damar memilih mulai memasangkan sabuk pengaman ke tubuhnya sebelum menyodorkan tangan untuk menekan starter. Aku paham kalau pemuda itu pasti ngambek karena seharian tadi aku mengabaikannya. Sepanjang proses pengambilan gambar tadi, waktuku memang banyak tersita oleh pengarahan yang membuatku harus bersisian dengan Rangga sepanjang waktu.

“Iya Mas Rayin cuma basa-basi sama Mas Rangga,” katanya. “Sampai-sampai Mas Rayin ngebiarin laki-laki itu meganging tangan Mas sambil ngelihatin pakai tatapan penuh perhatian.”

Ucapan Damar tersebut, mau tak mau membuatku teringat akan kejadian kala aku dan Rangga jatuh saat berebut bola di lapangan basket. Tanpa dijelaskan sekalipun, aku tahu kalau Damar pasti melihat kejadian memalukan tersebut dan kini menyimpan kecemburuan di dalam dadanya.

“Jadi kamu cemburu soal kejadian di lapangan tadi, Mar?” Mobil yang kami tumpangi mulai bergerak meninggalkan lokasi pengambilan gambar dan menuju ke arah Jakarta. “Harus kubilang berapa kali sih kalau kedekatanku sama Rangga itu cuma sebatas profesionalisme dalam bekerja? Oke, kamu mungkin menganggap kalau  interaksi aku sama cowok itu terkesan terlalu dekat untuk ukuran rekan kerja. Tapi percayalah, Damar, nggak ada sedikitpun perasaan yang kurasain terhadap Rangga.”

Atas apa yang kukatakan, kulihat Damar mengembuskan napas berat dari bibirnya. Pemuda di sampingku ini bukanlah jenis laki-laki yang mampu menyembunyikan perasaannya. Hanya dengan melihat ekspresi wajahnya, semua yang dia rasakan sudah tergambar dengan jelas di sana. 

“Saya hanya takut kalau Mas Rayin menyimpan sesuatu kepada Mas Rangga pada akhirnya,” jawab Damar setelah hening sesaat yang menyelubunginya. “Saya tentu tahu kalau Mas Rangga itu laki-laki gay seperti saya dan Mas dari caranya memperlakukan Mas Rayin. Dan kenyataan bahwa Mas Rangga jauh lebih baik secara apapun ketimbang saya, mau nggak mau membuat keresahan muncul di dalam dada saya.”

Maka detik berikutnya, setelah ungkapan jujur yang disampaikan Damar akan perasaannya, aku memutuskan menyandarkan kepalaku ke pundaknya. “Kamu nggak perlu merasakan kekhawatiran apapun terhadap aku sama Rangga, Mar. Kami berdua akan tetap bersikap profesional meskipun kami akan jadi lebih dekat nantinya. Pacar aku itu kamu. Dan dibandingkan sama Rangga, posisi kamu di hatiku itu jauh lebih tinggi dibandingkan dia.”

Maka dari sudut pandanganku, aku melihat Damar mengulas senyum tipis di bibirnya. Aku lega pemuda itu bisa mengenyahkan ragu di dalam dadanya pada akhirnya. Lebih dari apapun, aku hanya ingin Damar berhenti mengkhawatirkan kedekatanku dengan Rangga. Sebab pada kenyataannya, dialah satu-satunya laki-laki yang kini menjadi pemegang kunci untuk membuka hatiku. Dan tak ada satupun yang akan mampu menggantikanya.

BEGITU sampai di apartemen, aku memutuskan untuk membawa diri menuju kamar mandi. Tubuhku yang sudah lelah karena aktivitas seharian, rasanya perlu kubasuh dengan aroma wewangian yang membuat rileks. Mengabaikan makan malam yang kujanjikan, kulihat Damar turut melepas pakainnya dan mengekoriku memasuki kamar mandi. Tepat ketika guyuran air dingin menetes dari shower, pemuda itu memelukku dari belakang dan menjatuhkan bibirnya ke atas tengkukku.

“Saya ingin kita terus seperti ini ya, Mas.” Ketika tanganku mulai menuangkan sabun beraroma lavendel yang menenangkan, Damar membisikkan itu. “Saya ingin kita terus bersama tanpa ada satu orangpun yang mengganggu hubungan kita.”

Menyabuni tubuhku dan Damar menggunakan shower puff, aku terkikik kegelian kala Damar mulai menggigit kecil telingaku.

“Kita akan terus begini, Damar Sayang,” kataku membalikkan tubuh dan mengarahkan tangan untuk menyabuni area selangkangan Damar. “Aku janji, kita akan terus bersama dan nggak ada satu orangpun yang bakal mengacaukan hubungan kita. Aku mencintai kamu, Damar Pribadi. Dan nggak ada yang akan bisa merubahnya.”

Maka setelah kalimat terakhir yang kuucapkan, pemuda itu lalu menjatuhkan bibirnya ke bibirku. Di antara guyuran air yang kusetel pelan, lidah Damar bergelung dengan lihainya hingga aku mulai kewalahan mengimbanginya. Sementara tanganku mulai asyik memainkan adik kesayangannya yang mulai mengeras, Damar lalu menurunkan bibir untuk mencecapi setiap jengkal leherku sebelum kemudian turun ke dada.

Bersamaan dengan suara gemericik dan aroma wangi yang memenuhi udara, kurasakan lidah Damar mulai menjilati putingku yang basah. Tak bisa kutahan, desahanku meluncur bersamaan dengan setiap permainannya di dadaku. Rasa geli sekaligus nikmat yang dihasilkan oleh lidah Damar yang mulai mahir, mau tak mau membuat kedua tanganku refleks menjabaki rambutnya yang basah dengan pelan.

Puas mengerjai putingku, Damar lantas melipat kedua kakinya hingga lututnya menjejak di atas lantai kamar mandi yang dingin. Tanpa permisi, pemuda itu menciumi perutku sementara tangan kanannya mulai mengocok kelaminku dengan gerakan pelan. Aku kembali melolong, merasakan rasa nikmat yang kini menguasai ubun-ubun. Damar membuka mulutnya lebar, kemudian memasukkan benda keras panjang itu ke mulutnya. 

“Oh, shit, Mar. Kamu makin jago aja ngemanjain aku!” Sementara tubuhku yang tegang menyandar ke tembok, Damar mulai menggerakkan kepalanya maju dan mundur. Sementara bibirnya asyik mem-blowjob-ku, kedua tangannya bergantian memilin dan meremas kedua dadaku dengan gemas. Merasakan serangan ganda yang kini dilancarkan Damar, kurasakan kedua lutuku mulai lemas dan gemetaran. Begitu menyadari bahwa tubuhku mulai menegang dan aku akan segera orgasme jika dia terus menyerangku seperti itu, Damar lalu mematikan shower dan meraih handuk yang tergantung tak jauh dari tempatnya berada. Setelah mengeringkan tubuhku pun tubuhnya, pemuda itu lalu membopongku dan menjatuhkannya di atas kasur kamar.

Kali ini, pemuda itu sengaja mengangkat tubuhku ke atas tubuhnya secara berseberangan. Sehingga, kami sekarang berada pada posisi two sided alias 69. Dibawahku, wajah Damar tepat menghadap lubang anusku yang mengangkang terbuka. Sementara di bawah wajahku, penis Damar yang sudah menggantang layaknya Tugu Monas melambai-lambai untuk segera dimanjakan. 

Merasakan Damar mulai mempermainkan lubangku dengan lidahnya, aku tak kuasa menahan erangan sembari mengulum penis Damar di mulutku. Dengan gerakan pelan, aku menaik-turunkan kepalaku hingga kemaluan Damar kini teremat oleh bibirku yang basah dan hangat.

Puas dengan posisi tersebut, Damar kemudian kembali merebahkanku seraya meletakkan bantal di bawah kepalaku. Membiarkan pemuda itu mulai memasangkan kondom dan melumasi penisnya dengan lubricant, aku tersenyum lebar seraya menggigit bibir bawahku. 

“Malam ini, aku mau menu makan malamnya Mas Rayin saja, ya?” katanya sementara tangannya mulai mengoleskan gel dingin ke lubangku. “Kalaupun harus dua ronde sekalipun, saya akan dengan senang hati melakukannya.”

Maka tanpa bisa merespons, yang kulakukan selanjutnya hanyalah mengalungkan kedua tanganku ke leher kokoh Damar sementara pemuda itu mulai perlahan-lahan melesakkan kepala penisnya ke anusku. Dalam gerakan pelan, batang keras yang sudah licin oleh gel tersebut mulai memasuki lubang senggamaku hingga akhirnya terlesak jauh dan bagian ujungnya menyentuh prostatku.

Aku menutup mata, meraskan rasa nikmat kala Damar mulai menggoyangkan pinggulnya maju mundur. Pemuda itu menurunkan kepalanya untuk menciumku. Sebelum kemudian mencecap leherku dengan gerakan lembut namun penuh gairah.

Tepat ketika pemuda itu mulai menambah kecepatan goyangan pinggulnya, ponselku yang tergeletak di atas nakas berdenting menandakan masuknya sebuah pesan.

Dari nomor baru.

Yang tentu saja kuketahui sebagai nomor Rangga. (*)

CHASING THE BODYGUARDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang