40. Epilog

367 23 5
                                    

KILATAN cahaya blitz kamera kembali terlihat bersamaan dengan suara fotografer yang tiada henti memberikan aba-aba. Pekikan ‘pose’ serta suara jepretan kamera saling beradu mencumbu udara sementara para model sibuk melakukan pose terbaiknya di depan lensa.

Dari tempatku duduk, aku masih asyik memperhatikan kesibukan yang membebat ruangan serbaputih berukuran besar itu. Seperti setengah jam yang lalu, pandanganku masih tertuju pada Damar yang kini nampak serius mendengarkan penjelasan dari sang fotografer. Beberapa kali, tawa kecilku turut meledak melihat bagaimana kekasihku itu nampak  menggaruk tengkuknya yang tidak gatal karena bingung dengan istilah-istilah asing yang didengarnya.

Pada akhirnya, setelah beberapa kali penolakan yang diberikannya, Damar setuju untuk melakukan sesi pemotretan dengan L’Uomo. Meskipun awalnya cukup sulit untuk membuat kekasihku itu mau menerima tawaran tersebut, setidaknya aku berhasil meyakinkannya bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkannya. Sebagai manusia, kita memang tak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Oleh sebab itu, kita tidak seharusnya menyia-nyiakan setiap kesempatan yang datang. Mungkin saja, akan ada banyak hal besar yang terjadi dalam hidup Damar setelah dia menerima tawaran dari L’Uomo tersebut. Dan jika memang itu benar-benar terjadi kelak, maka aku ingin kekasihku itu tahu bahwa semua hal tersebut adalah buah dari keberaniannya untuk keluar dari zona nyaman miliknya.

Well, looks like someone is changing his boyfriend’s life.

Aku menolehkan kepala ke arah sumber suara, kemudian menemukan Jordan turut mengambil duduk di sampingku. Tanganku menerima uluran diet soda dari tangan kanannya, lalu tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada laki-laki yang kini terberungkus piyama mandi berwarna putih tersebut.

“Gue nggak merubah apapun,” kataku membuka penutup kaleng. “Damar yang merubah jalan hidupnya sendiri, gue hanya bertugas sebagai perantara.”

Di hadapanku, kulihat Jordan mengangguk kecil seraya tersenyum puas dengan jawabanku. Meskipun hatiku kini telah direbut oleh Damar, aku tetap tak bisa mendustai ketampanan Jordan yang kini hanya berjarak sekian sentimeter dariku. Pun juga aroma kayu basah yang perlahan-lahan menguar dari arah lehernya.

“Jadi, apa rencana kalian selanjutnya?” Turut menyesap birnya, Jordan kembali melempar pertanyaan. Di depan sana, fotografer sudah kembali sibuk dengan kameranya sementara Damar dan beberapa model lain kembali sibuk berpose. Jordan juga terlibat dalam pemotretan ini jika kalian penasaran, hanya saja gilirannya sudah selesai.

What do you mean with that so called ‘rencana’?”

Jordan  tertawa kecil. “Ya apapun yang pengen kalian lakukan di masa depan lah, Rayn?” cibirnya. “Menikah? Adopsi anak?”

“Sepertinya itu hal-hal klise yang selalu ada dalam pikiran seorang gay, ya?” kataku balas tertawa, membuat Jordan seketika geleng-geleng kepala. “We just want to go with the flow, Dan. Masa depan bukanlah sesuatu yang benar-benar bisa kita rencanakan, oleh sebab itu, gue sama Damar cuma pengen menjalaninya dengan tenang, tanpa ada kata ‘harus’ ataupun ‘semestinya.”

Atas jawaban tersebut, Jordan tak urung mencebikkan bibirnya seperti yang dilakukannya setiap kali pemuda itu ingin meledekku. “Kayaknya pacaran sama Damar bikin lo lama-lama jadi ahli filsafat deh, Rayn.”

“Setidaknya, itu sesuatu yang baik, kan?” timpalku. 

“Tentu saja,” Jordan menelengkan kepalanya. “Justru seharusnya memang begitu. Pasangan yang baik akan membawa lo pada sesuatu yang baik pula.”

“Dan sekarang, giliran lo yang kedengaran kayak ahli filsafat.”

Baik aku maupun Jordan, lalu sama-sama tertawa atas jawaban terakhir yang terucap dari bibirku. Begitu sang fotografer usai dengan semua sesi pemotretan, aku bangkit dan menjemput Damar yang berjalan menuju kami dengan senyum penuh kebahagiaan.

CHASING THE BODYGUARDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang