33. Broken

148 17 0
                                    

“Damar?”

REFLEKS membuat tanganku seketika melepaskan tubuh Rangga yang memelukku. Aku bangkit berdiri untuk mendekat ke arah Damar yang kini tertegun di atas kedua kakinya. Di wajahnya, aku bisa melihat tumpukan kekecewaan yang sekarang dirasakannya. Rasa kecewa yang dirasakannya, karena laki-laki yang begitu dicintainya telah tega berciuman dengan lelaki lain di depan matanya.

“Ini maksudnya apa, Mas?” Dalam suara paling rapuh yang pernah kudengar, Damar berkata seraya menggelengkan kepalanya pelan. Kedua mata sayunya mulai berkaca-kaca. Sementara kulihat, bibirnya turut bergetar mengisyaratkan luka.

“Jangan salah paham dulu, Damar,” kataku meraup kedua tangan Damar yang tergantung di udara. “Aku bisa kasih penjelasan tentang semuanya.”

Namun seolah tak mempercayai apa yang baru saja kukatakan, Damar justru mengisbaskan genggamanku di tangannya. Sekarang, dalam tatapan matanya yang nanar, aku bisa melihat pemuda itu menggeleng sementara setitik air mata tipis nampak menggenang di sudut matanya. Dan melihat itu, tentu saja membuat jantungku terasa ditusuk anak panah bermat tajam.

“Saya nggak pelu penjelasan apapun lagi, Mas.” Pemuda itu mengusap lelehan tipis yang pada akhirnya jatuh membasahi pipinya. “Apa yang dilihat oleh kedua mata saya sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan semuanya.”

Dalam berdiriku, aku menelan ludah yang serta-merta saja terasa menyakitkan tenggorokan. “Kamu cuma salah paham, Damar,” kataku mencoba meyakinkan. “Ini nggak seperti yang kamu—”

“Salah paham kata Mas Rayin?” tembak Damar jauh sebelum aku sempat menyelesaikan kalimat. Dalam jarak sedekat ini, aku bisa mendengar pemuda itu mengerutukkan giginya sebagai tanda akan sebuah emosi yang begitu besar. Damar mungkin seorang laki-laki muda dengan tubuh tegap yang terlihat tegar, namun jauh di dalam dirinya, aku tahu perlahan-lahan jiwanya berubah rapuh. “Setelah saya melihat sendiri dengan kedua mata saya bahwa Mas Rayin dan Mas Rangga berciuman, Mas masih mau bilang kalau saya cuma salah paham?”

Maka setelah itu, bibirku seketika terasa kelu dan aku bergeming tanpa bisa lagi mengucapkan sepatah kata. Memang sudah sepantasnya, setelah apa yang selama ini telah kulakukan kepada Damar, sangat wajar rasanya jika pada akhirnya aku mendapatkan karma. Aku memang telah diam-diam tega mengkhianati pemuda itu dan malah berpaling kepada Rangga. Meskipun hanya pura-pura awalnya, pada akhirnya aku memang abai pada setiap peringatan Damar bahwa aku telah melukainya.

Damar berhak untuk benar-benar membenciku sekarang. Pemuda itu memang berhak untuk kecewa atas semuanya.

“Tolong maafkan aku, Mar,” kataku, sekali meraih tangan Damar yang dengan cepat ditepisnya. “Aku tahu aku memang bersalah. Aku lalai pada semua kebersamaanku dengan Rangga. Dan aku tahu bahwa aku udah bikin kamu beneran terluka.”

Perasaan yang sesak menghantam dada, serta rasa panas yang membuat mataku tak henti melinangkan air mata mau tak mau membuatku kini menangis tanpa daya. Setelah aku dinyatakan HIV, lalu sekarang aku ketahuan telah berciuman dengan Rangga, aku sudah pasrah dengan segala nasib buruk yang sebentar lagi akan dikirimkan Tuhan kepadaku. 

“Kita akhiri saja hubungan ini, Mas.”

Pada akhirnya, satu kalimat pendek namun menakutkan yang keluar dari bibir Damar itu membuatku mengangkat kepala dan mengarahkan tatapan kaget ke arahnya.

Please jangan, Mar!” desisku mulai diliputi ketakutan.

“Kita akhiri saja hubungan kita kalau memang Mas Rayin merasa lebih bahagia bersama dengan Mas Rangga,” pungkas Damar yang kontan saja membuatku memekik histeris dan menjatuhkan lututku ke atas lantai dan merunduk mencium kedua tangannya.

CHASING THE BODYGUARDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang