Suara ketukan sepatu pantofel yang mencumbu lantai keramik terdengar usai sebuah pintu kosen ditutup. Kemudian, suara itu terdengar semakin mendekat, sebelum pada akhirnya berhenti tepat di hadapanku.
"Rayner Jeffrey Saloka."
Mendengar nama lengkapku disebut, kedua tangan yang sejak tadi sibuk menggeser garis waktu Instagram pada layar ponsel sontak saja terhenti. Aku mendongak, sebelum kemudian menatap bosan pada sesosok laki-laki berkacamata dengan setelan kaus putih serta padu-padan cardigan berwarna koral yang kini melipat tangan di hadapanku.
"I hope, this is the last time you are putting yourself in trouble."
Micky Jovenius Saloka, laki-laki itu, membuka mulut dengan lelah. Tangan kanan yang memegang selembar kertas yang tadi dibawanya dari ruang pemeriksaan, diangkatnya tinggi-tinggi seolah hendak memberitahukan sebesar apa dosa yang baru saja kulakukan. Oke, aku memang baru saja melakukan sebuah dosa yang teramat besar. Ini jam satu pagi, dan kami berdua berada di ruang tunggu kantor polisi.
"Gue rasa, lo udah bener-bener kehilangan akal sehat kali ini!" Laki-laki dua puluh delapan tahun itu mulai merepet. "How could you dating a drug dealer? Emangnya, nggak ada laki-laki lain yang lebih baik buat dikencani apa?"
Laki-laki yang kukencani di bar beberapa jam yang lalu ternyata seorang pengedar narkoba. Kami tertangkap dalam sebuah operasi polisi di sekitaran Sudirman saat hendak pulang ke apartemenku.
Operasi sajam laknat!
Laknat karena ada dua ratus gram heroin tersimpan di dalam pouch laki-laki bernama Jason itu.
"Kali ini mungkin lo emang cuma ngencanin pengedar narkoba." Karena aku masih sama sekali tak memberikan respons, Micky kembali merutuk. "Tapi lain waktu? Bisa aja kan lo ngewe sama seorang pembunuh bayaran?"
Tentu saja, aku langsung memutar bola mata skeptis usai mendengar omelan nada mendikte itu. Meski pada kenyataannya, laki-laki berwajah oriental itu adalah kakak kandung sekaligus manajerku, aku tentu merasa sebal dikata-katai seperti itu. Memangnya, aku tahu kalau Jason itu pengedar narkoba? Kami berdua saja baru sekali ketemu di Hollywings setelah match di Tinder, cipokan dan baru mau ngelanjutin di apartemenku. Eh, malah sekarang, kami berdua berada di kantor polisi. Meskipun untungnya, aku hanya ditetapkan sebagai saksi karena hasil tes urinku negatif.
"Lo itu udah gede, Rayn. Harusnya, lo itu bisa jaga diri dan nggak bertingkah teledor kayak gini." Seolah lelah dengan sikapku, Micky akhirnya menjatuhkan tubuhnya ke sisi kosong di samping kursiku. Aku bisa mendengar desahan frustrasi yang meluncur dari bibir tebalnya. "Karir lo sebagai seorang model baru aja naik, tolong jangan lo hancurin sama hal-hal konyol nggak penting kayak begini."
Di atas dudukku, aku sama sekali nggak menggubris kalimat itu. Alih-alih, aku justru menelusupkan Airpod ke kedua telingaku dan membiarkan 911 milik Lady Gaga menggebuk-gebuk gendang telingaku. Mau diceramahi seperti apapun, harusnya Micky paham kalau aku bukanlah Rayner si anak kecil lagi. Juni lalu, usiaku baru saja menginjak angka dua puluh tiga, dan sudah sepantasnya, laki-laki itu tahu bahwa aku mulai bosan diperlakukan seolah-olah aku ini anak yang baru lahir kemarin sore.
"Terus, sekarang lo mau gue ngelakuin apa?" Sembari mengatakan itu, aku menyelipkan sebatang Marlboro ke ujung bibir dan memantiknya dengan api. Seorang petugas yang lewat di hadapan kami menatapku sinis seolah aku ini waria yang suka mangkal di Taman Lawang. "Just like what you've said, I'm a big guy now. Seharusnya, lo nggak perlu bawel sama apapun yang gue lakuin seolah-olah gue ini anak kemarin sore."
"But I'm your manager, Rayn," tukas Micky kesal. "Udah tugas gue buat bawel atas apapun yang lo lakuin."
"Tapi kebawelan lo itu berlebihan!" Aku menyemburkan asap rokokku ke wajahnya. Micky terbatuk sedikit. "Hidup gue udah menyedihkan karena dari kecil, Papa, Mama sama lo selalu ngekang gue. Dan sesaat, gue berpikir kalau hidup gue akan berubah dengan gue nurutin keinginan kalian buat jadi model. Tapi apa kenyataannya?"
Laki-laki itu mematung usai apa yang kuucapkan. Meski pada kenyataannya, Micky adalah seorang kakak yang pengertian—I mean, he is okay when I told him that I was gay, tetap saja dia akan berubah menyebalkan jika begini.
"Gue cuma pengin menikmati apa yang gue miliki sebagai seorang anak muda, Mick." Pada akhirnya, aku mencoba mengembalikan suasana dengan merendahkan suara. "Apa itu teramat susah buat dilakukan? Toh, jika ada sesuatu yang buruk, gue bakal menerima risikonya."
Di sampingku, aku bisa mendengar suara bahu Micky yang menyandar punggung kursi, tanda dia menyerah. Mungkin saat ini, kalian mulai berpikir kalau aku adalah tokoh utama yang menyebalkan. But, yeah, this is me. Menjadi pemberontak adalah impian setiap remaja di dunia ini, bukan?
"Oke, fine." Pada akhirnya, setelah cukup lama hening menguasai kepalanya, Micky menjawab. "Gue tahu kalau selama ini gue pun Papi sama Mami terlalu berlebihan sama lo. Tapi asal lo tahu, itu kami lakukan karena kami khawatir sama lo."
Lagi-lagi, kedua mataku berputar secara otomatis mendengar kalimat klise tersebut. Kali terakhir aku membuat masalah, aku membiarkan pasangan one night stand-ku menggondol ponsel dan dompetku—yang untungnya hanya berisi beberapa lembar seratus ribuan dan kartu kredit yang bisa kublokir keesokan paginya. Aku mabuk waktu itu, dan setelahnya, perlakuan Micky berubah semakin ketat ketimbang sebelum-sebelumnya.
"Kalau memang lo mau gue berhenti ngebawelin lo, gue akan melakukannya," lanjutnya, "asalkan, dengan satu syarat yang nggak boleh lo bantah."
Aku mendelik. "Syarat?"
Micky membenarkan duduk. "Belakangan ini, gue emang ngerasa agak keteteran ngeladenin tingkah lo. Tugas gue yang seharusnya hanya ngurusin jadwal lo, malah jadi berlipat-lipat karena lo sama sekali nggak mau diajak bekerja sama."
Aku memilih diam. Bingung memutuskan apakah ucapan barusan adalah pujian atau hinaan.
"Makanya, kemarin-kemarin gue sama Mami dan Papi sempet ngebahas buat meng-hire seorang bodyguard yang mungkin bisa jagain sekaligus memonitor semua tingkah laku lo selama gue fokus sama pekerjaan gue sebagai manajer lo."
"Body... guard?"
Dia mengangguk mantap. "Lo itu butuh pawang, Rayn! Dan gue rasa, gue bukan pawang lo."
Sialan! Memangnya aku ini Harimau Siberia apa?
"Ta-tapi!"
"Sekarang semua tergantung lo sih, Rayn." Mengacuhkan protesku, Micky bangkit, bersiap untuk hengkang karena malam semakin larut dan badan kami juga butuh istirahat. "Lo biarin gue tetep bawel dan mungkin memutus semua akses lo di luar pekerjaan. Atau lo setuju buat didampingi bodyguard ke manapun lo pergi?"
Aku menelan ludah.
Memutus semua akses?
Itu artinya, dia akan menyita ponsel, kartu kredit, mobil dan apartemen.
Tapi dikuntitin bodyguard ke manapun lo pergi?
"Oh, come on, Mick? Nggak ada pilihan lain apa?" Aku mencebik seraya memasang wajah memelas karena sadar aku adalah seekor tikus yang masuk jebakan sekarang. Biasanya, kakakku itu akan luluh jika aku terus merengek.
Tapi sialnya, alih-alih menjawab, Micky justru pura-pura tidak mendengar dan melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Meninggalkan aku yang sekarang kalang-kabut menyadari bahwa hidupku tidak akan pernah sama lagi di masa-masa depan. (*)
KAMU SEDANG MEMBACA
CHASING THE BODYGUARD
Romance(TAMAT 16 SEPTEMBER 2024) Rayner Jeffrey Saloka, dua puluh tiga tahun, model, merasa bahwa hidupnya terkekang oleh perlakuan kakak dan kedua orangtuanya yang masih menganggapnya seolah anak kecil. Sebuah insiden yang membuatnya hampir masuk penjar...