37. I Love You, No Matter What

99 10 0
                                    

“Damar, pleasewe better stop this!

AKU mendesahkan kalimat itu dengan lemah seraya menahan Damar yang hendak bergerak turun menuju bagian bawahku. Yang tentu saja, membuat Damar seketika melayangkan tatapan penuh tanya atas perubahan sikapku yang tiba-tiba tersebut.

Aku memilih bangkit dan melepaskan diri dari pelukan Damar. Sementara kulihat, pemuda itu turut membenarkan duduknya, memberi sekat pada jarak kami bersamaan dengan eskpresi kikuk pun bingung yang kini begitu terlihat jelas di ekspresi wajahnya.

“Ada apa, Mas?” tanyanya bingung. “Apa ada masalah?”

Tak ingin menjawab, aku memutuskan bangkit dan membawa langkah untuk menyahut sebotol air dari lemari pendingin dapur sebelum menenggaknya habis dalam sekali tegukan. Lebih dari apapun, aku sungguh-sungguh tak ingin pandanganku bertatapan dengan matanya. Sepersekian detik setelah percumbuan kami, entah kenapa keraguan seperti menyeruak dan membuat perasaanku serta-merta bimbang. Apakah aku masih pantas untuk mendapatkan ciuman dari Damar sementara sekarang keadaanku telah berbeda?

“Tolong jawab saya, Mas.” Karena aku masih tak kunjung memberikan jawaban, Damar bangkit dan membawa kedua kakinya mendekatiku. Tanpa menunggu persetujuanku, pemuda itu meraih tanganku sebelum kemudian mencium punggungnya dengan lembut. “Saya tahu ada sesuatu yang sedang Mas Rayin sembunyikan. Kita bisa membicarakan ini, kita sudah berjanji, kan?”

Tanpa tahu harus memberikan jawaban seperti apa, aku bersandar lemas ke tembok dapur sementara kurasakan kedua mataku perlahan memanas. Bagaimana caranya aku mengatakan bahwa HIV kini telah bersarang di tubuhku? Bagaimana cara mengatakannya sementara aku tahu bahwa hal tersebut akan melukai pemuda itu? Dan yang lebih penting, masihkah Damar akan mau menerimaku setelah sesuatu di dalam diriku telah berubah dan menjadi bom waktu yang cepat atau lambat akan meledak menghancurkan hubungan kami berdua?

“Tolong katakan sesuatu, Mas.” Melihatku yang kini diam terisak sementara air mata mulai lancang menjebol pertahananku, Damar berkata lagi. Kali ini, kurasakan jemarinya mengangkat lembut daguku hingga tatapan kami saling bertubrukan. Bola matanya yang sayu, membundar seakan-akan tengah menunggu kepastian dariku.

“Maafin aku, Mar.” Merasakan sesak kini mulai memenuhi dada dan membuatku kesusahan menghirup oksigen, aku mencicitkan itu. “Sungguh, tolong maafin aku.”

“Maaf buat apa, Mas?” Damar mulai kebingungan. “Bukankah saya sudah bilang kalau saya nggak mempermasalahkan hubungan Mas dengan—”

“Aku positif HIV, Mar!”

Pada akhirnya, kalimat itu meluncur dengan cepat tanpa bisa kutahan lebih lama lagi. Yang dalam hitungan detik, membuat pemuda di hadapanku itu kontan mematung dengan rahang terbuka sementara tatapannya yang tak bisa kuartikan kini menghunusku dengan begitu kentara.

“A-Apa?” katanya menggelengkan kepala. Genggamannya pada tanganku perlahan mengendur dan kemudian terlepas. “Mas Rayin pasti sedang bercanda, kan?”

“Itulah kenyataannya, Mar.” Isakan di bibirku lalu berubah menjadi desisan yang sungguh-sungguh membuatku merasakan kerapuhan. Detik itu, kurasakan segala sesuatu di belakang punggungku runtuh tanpa bisa kucegah. 

Hidupku.

Perasaanku.

Segalanya.

Pada akhirnya, aku memang harus tiba pada titik ini.

“Se… sejak kapan, Mas?” Ketika mengatakan kalimat itu, kutemukan bibir Damar bergetar sementara titik-titik kecil air mata mulai mengembun di pelupuknya. Pemuda itu mundur satu langkah, menciptakan nyeri yang seketika menghantam dan menciptakan lubang menganga di dalam dadaku. “Sejak kapan Mas Rayin punya penyakit itu?”

CHASING THE BODYGUARDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang