15. All The Money In The World

163 16 0
                                    

[Full Chapter sampai tamat sudah tersedia di karyakarsa.com/bgstito]

DARI Micky, aku berhasil mendapatkan alamat Kanaya di daerah selatan Jakarta. 

Wait. Bukan berarti aku ingin melabraknya, tapi lebih kepada aku ingin menemui perempuan itu demi meluruskan sesuatu kepadanya. Damar yang masih goyah saat bertemu dengan Kanaya, tentu menjadi sebuah ancaman bagi keberlangsungan hubungan kami. Membiarkan wanita tersebut kembali muncul dan mengombang-ambingkan keteguhan Damar, sama saja seperti menyalakan api di jalan penuh genangan minyak tanah. Makanya, selagi api tersebut masih belum meluas, aku akan dengan segera mengambil air untuk menyiramnya.

Mobil yang kukemudikan terhenti di depan sebuah pelataran khas suburban yang teduh oleh rindang pepohonan. Tadi ketika kesini, Damar sedang mandi dan aku pamit keluar sebentar dengan alasan ada sesuatu yang harus kukerjakan. Beruntung, pemuda itu tak menaruh curiga. Sebab jika tahu sekarang aku malah datang menghampiri Kanaya, tentu pemuda itu pasti akan keberatan dan menganggapku tak mempercayai semua perkataan yang diucapkan olehnya.

Membuka pintu, aku menjatuhkan sepatu pantofelku ke atas tanah yang ditumbuhi rerumputan. Aku sengaja memarkir mobilku di pinggir jalan untuk mempermudah jika aku harus kembali lebih cepat dari waktu yang sudah kuperhitungkan.

Memasuki area pekarangan yang asri ditumbuhi bermacam bebungaan, aku mengangsurkan tangan untuk mengetuk pintu kayu di hadapanku. Tok! Tok! Tok! Tiga kali ketukan oleh buku jariku, dengan segera dijawab oleh sebuah suara melengking dari balik sana.

“Iya, sebentar!”

Kosen jati berpelitur cokelat tersebut terbuka bersamaan dengan sosok Kanaya yang muncul dalam balutan gaun santai beraksen bebungaan. Rambutnya yang ikal kecokelatan, dia biarkan terikat tinggi hingga menampakkan ekor rambut dan tengkuknya yang jenjang.

“Hai, Rayn? Kok nggak ngasih tahu dulu kalau mau datang?” katanya membuka pintu dan mempersilakanku masuk. Aku bisa melihat ekspresi kaget di wajahnya karena sepanjang kami berstatus sebagai ipar, baru kali ini aku menyempatkan diri untuk mengunjunginya.

“Mau kubikinin minum apa?” katanya membiarkanku duduk di atas sofa beledu berwarna toska. “Kok datengnya nggak bareng sama Micky?”

Tak berniat membuang banyak waktu, aku memutuskan menarik tangan perempuan itu hingga dia tak jadi melangkahkan kakinya menuju dapur. “Nggak usah repot-repot, Ya. Gue nggak bakalan lama, kok. Ada sesuatu yang harus gue sampaikan ke lo.”

Mendengar perkataanku, perempuan itu memutuskan mengambil duduk pada sofa kosong tak jauh dari tempatku duduk. “Sesuatu?”

Tanpa menjawabnya, aku mengeluarkan sesuatu dari dalam tas tanganku. Sebuah amplop cokelat tebal yang kemudian kujatuhkan ke atas meja.

“Ini ada sedikit uang buat lo sama Sagara,” kataku tak acuh pada ekspresinya yang berubah kaget. “Nggak banyak, cuma sekitar seratus juta. Tapi gue rasa, itu jumlah yang cukup buat meminta lo nggak muncul lagi di depan gue maupun keluarga gue.”

Mendengar perkataanku, kulihat Kanaya mendenguskan sebuah embusan berat seolah-olah dia merasa tersinggung dengan apa yang kukatakan. “Apa maksud kamu, Rayn?”

Merasa jengah dengan sikap sok polosnya itu, aku melipat kedua tanganku ke depan dada. Aku benci jika medusa sepertinya mulai berakting seolah-olah dia ini adalah malaikat suci yang jatuh dari surga. 

“Nggak usah pura-pura lagi deh, Ya. I know who you are,” kataku dengan penekanan cukup tegas. “Gue tahu kalau dulu lo menikah sama Micky karena lo tertarik dengan hartanya. The only thing you care about is just all the money in the world! Lo sama sekali nggak pernah mempedulikan setiap laki-laki yang udah lo permainkan perasaannya!” 

CHASING THE BODYGUARDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang