EQUANIMITY

397 51 3
                                    

Queen aku udah update lagi nihhh!!!!! Semoga kalian suka dan ada hikmah yang bisa diambil ya.

JANGAN LUPQ VOTE ya Queen!!!!!

Happy reading!!!!!




Selama di Indonesia, Jimin merasa lebih banyak tahu tentang perilaku gadis itu. Apalagi saat berbicara dengan Ayah dan Ibunya meski dengan keterbatasan bahasa, Jimin mengakalinya dengan menggunakan kemajuan teknologi.

"Raisya itu keras karena sejak kecil Raisya memang punya idealisnya sendiri."

Jimin mengingat hal itu dengan baik. Jika Raisya memang sudah memiliki sifat itu, Jimin harus bisa mengantisipasi adanya pertengkaran karena hal ini. Karena Jimin dan Raisya sama-sama anak pertama, biasanya tidak ada yang mau mengalah jika sudah berdebat.

Tapi, untuk urusan ini, Jimin memang tidak mau terus mengalah, Jimin hanya akan lebih banyak memberikan pengertiannya karena Raisya juga usianya terpaut cukup jauh dengan dirinya. Jadi, Jimin harus bisa menjadi sosok yang mengayomi.

"Kenapa dia bisa sampai seperti itu, Eomma-nim?" tanya Jimin waktu itu.

Ibu Raisya nampak menghela dan menghembuskan napasnya. Tersenyum sesaat sebelum dirinya mengelus lengan atas Jimin dengan lembut, "Itu karena kami juga salah dalam mendidiknya. Raisya tumbuh dengan pemikiran dan lingkungannya sendiri. Dia memang sering bercerita, tapi kami jarang menanggapinya dengan serius."

Mendengar itu, Jimin jadi lebih paham alasan kenapa Raisya yang berkata tidak mau menjadi sosok orang tua seperti orang tuanya meski Raisya tidak menjelaskannya secara detil. Jimin kini mengenggam jemari Ibu mertuanya dengan lembut. Menganggukkan kepalanya mengerti dan mencoba untuk memberikan perasaan bahwa Jimin tidak keberatan dengan itu.

Raisya hanya butuh tempat supaya ia bisa mendapatkan hal yang dia inginkan. Raisya juga jadi lebih sering menangis jika ada banyak beban di kepalanya. Raisya belum bisa banyak terbuka meski banyak bercerita. Raisya masih banyak memendam lukanya sendiri.

Jimin tidak akan menyalahkan orang tua Raisya karena hal ini. Jimin akan lebih fokus untuk membangun Raisya yang bisa lebih jujur lagi padanya. Daripada menyalahkan, itu hanya hal yang sia-sia saja.

Jimin kini menatap punggung yang setengahnya tertutup oleh rambut panjangnya. Memakai sebuah apron di bagian depannya dengan tangan yang kini sibuk memotong sayuran. Gadis itu, sudah terlalu banyak mengalami hal sulit sendirian. Raisya sudah sangat hebat untuk bisa berdiri di titik yang sekarang. Gadis itu sudah sangat kuat untuk bisa tersenyum ditengah deritanya.

Mendadak, Jimin malah menitikkan air matanya. Karena ia sadar air matanya menetes, Jimin dengan segera mengelap air matanya karena tak ingin ketahuan dan lanjut mengobrol dengan Jungkook mengenai kuliahnya sambil sesekali melirik ke arah Raisya yang tengah tertawa bersama dengan Ibunya.

Gadis itu memiliki kemampuan adaptasi yang sangat baik. Ibunya saja sampai senyaman itu dengan Raisya. Padahal, saat Jimin memperkenalkan Feith waktu itu, Ibunya tidak sampai terlihat nyaman seperti saat bersama Raisya.

Raisya itu punya pshycal touch dan quality time sebagai love languagenya. Raisya tidak akan segan untuk memeluk, menggenggam, mengelus, bahkan menjadikan dirinya sebagai tempat bercerita orang lain.

Dengan senang hati gadis itu akan mendengarkan dan mengatakan hal yang baik dan bisa sedikit menenangkan. Raisya akan jadi Ibu yang sangat baik nantinya meski Jimin tahu bahwa sisi tegasnya tidak akan hilang dari cara parenting Raisya.

HAN JIMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang