Semuanya berjalan dengan cukup baik. Raisya dan Jimin sama-sama beraktivitas dengan baik. Pekerjaan tetap harus di kerjakan bagaimanapun keadaannya. Jadi, baik Jimin maupun Raisya sama-sama mau menjadikan permasalah yang telah lalu sebagai pembelajaran.
Raisya juga sudah bersikap seperti semula. Ia bersikap seolah yang kemarin memang hanya angin lalu. Toh memang semuanya telah selesai. Ia tidak ingin larut dalam masalah yang sebenarnya sudah selesai.
Pagi ini, Raisya lagi dan lagi merasakan kepalanya yang berkunang-kunang. Sudah beberapa hari ini kondisi tubuhnya memang kurang baik. Ia sudah meminum obat yang biasanya ia minum. Namun beberapa hari terakhir, pening yang ia rasakan jadi lebih sering terasa dibanding sebelumnya.
Raisya mematikan kompor. Ia baru saja akan menghidupkan wajan untuk membuat sarapan. Namun ia juga tidak bisa memaksakan. Ia takut terjadi hal yang lebih buruk jika ia tetap memaksa untuk membuat makanan disaat kepalanya tengah sangat sakit.
Sebenarnya, ia bisa saja meminta bibi Joo yang memasak sarapan. Hanya saja Raisya sudah berjanji untuk melakukan pekerjaan ini dengan tangannya sendiri. Memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri. Meski Jimin tidak pernah meminta Raisya untuk melakukannya malah cenderung melarangnya, namun Raisya melakukannya atas kesadaran dirinya sendiri.
"Sayang? Ada apa?" tanya Jimin yang kini menopang tubuh Raisya yang hampir saja limbung jika dirinya tidak cepat menangkap tubuh istrinya dengan sigap.
Raisya kini refleks meraih bahu Jimin sebagai pegangannya meski ia yakin Jimin tidak akan menjatuhkannya juga. Raisya memegang kepalanya lagi lalu mencoba untuk menegakkan kembali tubuhnya.
Meski kini Jimin membiarkan Raisya berdiri dengan benar, tidak berarti Jimin melepaskan rengkuhannya begitu saja. ia tetap memeluk tubuh Raisya cukup erat karena khawatir.
"Kita ke dokter sekarang."
"Tidak perlu, Sajang-nim." Raisya memberikan penolakan. Ia rasa, dirinya tidak separah itu sampai harus di bawa ke dokter. Ia hanya pusing seperti yang biasa ia rasakan.
"Aku hanya belum meminum obat. Setelah minum obat, pusingnya akan reda dengan sendirinya. Tidak perlu ke dokter," ungkap Raisya.
"Sejak kapan meminum obat jadi satu kebutuhan bahkan kebiasaan, Raisya?" tanya Jimin. Jimin memang sudah sering sekali mengatakan jika Raisya setidaknya harus pergi ke dokter untuk memastikan keadaannya. Namun Raisya selalu menolak keras.
"Obat tidak sama dengan vitamin, Raisya. Kau harus periksa jika sakit."
Raisya menggelengkan kepalanya. Menjauhkan tubuhnya dan memilih untuk berdiri berhadapan dengan suaminya. Raisya kini menggenggam kedua tangan Jimin dan menatap prianya yang nampak kesal. Bukan hal aneh jika hal seperti ini selalu diperbincangkan.
"Aku tahu Sajang-nim. Tapi untuk sementara, aku harus meminumnya terlebih dahulu. Mungkin jika masih terasa, siang nanti saja akan berkunjung ke rumah sakit untuk memeriksakan kesehatan."
Jimin akhirnya mengalah. Tidak mau berdebat dengan istrinya di pagi hari ini. namun meski Jimin mengiyakan permintaan Raisya, ia tetap tidak mengizinkan Raisya menyiapkan sarapan pagi ini. Jimin akhirnya mengajak Raisya ke sebuah toko kue untuk membeli beberapa kue sebagai pengganti sarapan biasanya.
Raisya memilih sandwich isi buah sebagai sarapan pagi ini di tambah dengan susu kotak yang sudah ia bawa dari rumah. Mereka sarapan di dalam mobil dengan Raisya yang membantu Jimin menyuapkan sandwichnya karena Jimin tetap harus menyetir.
"Siang nanti aku jemput dan kita pergi ke dokter bersama," ucap Jimin yang kini sudah memarkirkan mobilnya di depan gedung perusahaan Raisya. Memperhatikan Raisya juga yang tengah membersihkan tangannya dengan tisue dan pipi yang menggembung karena masih mengunyah sisa sandwich.
Raisya menggelengkan kepalanya yang mengindikasikan bahwa dia menolak tawaran yang Jimin berikan untuknya.
"Kenapa tidak mau?" tanya Jimin.
"Sajang-nim siang ini harus pergi meeting ke Gangnam, setelah itu pergi lagi ke incheon dan meeting lagi di perusahaan. Aku tidak mau mengganggu. Aku akan meminta Jinae yang mengantar saja. Sajang-nim jangan khawatir," pungkas Raisya.
Jimin menghembuskan napasnya. Raisya jadi lebih sering menolak padahal biasanya tidak seperti ini. Jimin akui memang Raisya menolak karena alasan yang masuk akal dan jelas karena kesibukannya. Hanya saja bukan jawaban seperti itu yang Jimin inginkan.
Tapi jika ia meminta Raisya untuk menunggu dirinya sampai selesai pun tidak baik. Ia juga khawatir jika terjadi sesuatu pada istrinya dan tidak cepat mendapatkan penanganan.
"Huft, baiklah kalau begitu. Kau bisa menggunakan mobil dan di antar oleh sopir. Aku akan mengatakan pada sopir untuk mengantarmu siang ini, dan tidak ada penolakan."
Raisya tersenyum hangat. Menganggukkan kepalanya setuju karena ia juga tidak mau terus menolak. Ia takut Jimin merasa tidak dihargai. Jadi, ia putuskan untuk mengikuti permintaan Jimin saja. toh sopir itu tidak akan ikut saat pemeriksaan.
Raisya kini mendekatkan wajahnya dan mencium permukaan bibir Jimin hangat. Tersenyum sesaat sebelum memeluk perpotongan leher Jimin dan pamit untuk pergi. Sore nanti ia akan menunggu Jimin di kantor pria itu sambil membawakan makan malam karena Jimin berkata akan pulang sedikit lebih lambat.
Setelah Jimin memastikan presensi Raisya benar-benar masuk ke dalam gedung perusahaan, ia baru kembali melajukan mobilnya untuk berbelok arah karena perusahaannya berada di seberang jalan. Ini pagi yang Jimin suka. Karena pagi ini Jimin mengawali hari dengan mood yanng cukup baik.
.
.
.
"Jinae-yya? Siang nanti apakah jadwalku kosong?" tanya Raisya yang kini tengah mendudukkan diri mengecek beberapa berkas yang Jinae bawa. Sementara perempuan yang Raisya tanya itu kini berada di depan Raisya. Persis di seberangnya dan terhalang oleh meja.
"Iya, Sajang-nim. Anda bisa makan siang dengan tenang," jawab Jinae.
Pekerjaan hari ini memang tidak terlalu padat dari hari biasanya.
"Kalau begitu, apakah kau sudah ada janji makan siang dengan seseorang?" tanya Raisya lagi yang kini sudah menandatangani berkas yang Jinae berikan dan menutup kembali berkas tersebut.
"Tidak ada, Sajang-nim. Apakah Sajang-nim membutuhkan sesuatu?" tanya Jinae.
"Kalau begitu, bisakah kau menemani aku pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan kesehatan? Setelah itu kita bisa makan siang bersama di restoran daging yang biasa kita datangi. Bagaimana?" tawar Raisya.
Ia dan Jinae memang sering keluar makan siang bersama. Namun karena ia sudha menikah dnegan Jimin, waktu makan siang ia dan Jinae jadi tidak sesering dulu. Jangankan dengan Jinae, dengan Cerrys saja sekarang sudah sangat jarang karena mereka berdua sama-sama sibuk.
"Sajang-nim sakit? Kenapa tidak sekarang saja kita pergi?" tanya Jinae yang kini menerima berkas yang sudah Raisya tanda-tangani tadi.
Raisya tersenyum dan menggelengkan kepalanya, "Tidak separah itu, hanya saja suamiku meminta agar aku memeriksakan diri. Jangan khawatir. Kita pergi saat makan siang. Pastikan jadwalmu kosong siang ini, Jinae!"
.
.
.
Siap ga buat next drama nya tsayyyyyyyy
KAMU SEDANG MEMBACA
HAN JIMIN
RomanceE N D Eight story by: Jim_Noona Pria itu datang saat aku memang sedang membutuhkan uluran tangannya. Kupikir dia hanya ingin sekedar membantuku, tapi ternyata dia juga ingin aku membantunya. "Menikah denganku, maka aku akan menyuntikkan dana sebanya...