INOREXABLE

312 62 7
                                        

Sayup suara Jimin kini terdengar oleh rungu Raisya yang tengah memeluk kedua lututnya sambil menatap ke arah luar jendela. Tidak ada pemandangan yang begitu spesial. Hanya ada jalan besar dengan pepohonan dan gedung-gedung cukup tinggi.

Semalam ia dan Jimin tidak tidur bersama. Raisya memutuskan untuk tidur sendiri karena ingin menenangkan dirinya. Dan pagi ini, Jimin bahkan langsung mengetuk pintu kamar yang Raisya tempati. Padahal jam masih menunjukkan pukul enam pagi.

Raisya memang tidak bisa tertidur dengan benar. Kejadian semalam masih saja membuat hatinya tidak tenang. Meski Seyon sudah mengakui semuanya, Raisya masih terlalu syok meski hanya mendengar cerita karangan Seyon.

Raisya tahu jika dirinya terlalu egois untuk Jimin. Ia mengerti jika dirinya tidak boleh bersikap seperti ini. Hanya saja Raisya juga butuh waktu. Hati dan pikirannya butuh untuk beristirahat. Ia tidak membenci Jimin atau marah pada pria itu. Karena pada dasarnya Jimin tidak bersalah di sini.

"Raisya-yya?" panggil Jimin yang kini masih berusaha membuat Raisya mau menemui dirinya. Jimin tidak bisa tidur dengan tenang juga karena setelah kepulangan Seyon, Raisya langsung meminta semua orang untuk membiarkannya sendiri terlebih dahulu.

Untungnya, mereka berhasil meyakinkan Raisya agar gadis itu bisa tidur di kamar tamu daripada harus pergi ke hotel yang tidak jauh dari kediaman keluarga Han. Jadi setidaknya Jimin bisa lebih sedikit tenang meski tetap saja rasanya mengganjal.

"Raisya? Sayang? Bisakah kita berbicara?" tanya Jimin yang masih berdiri di depan pintu Raisya. Masih tidak ingin menyerah. Karena Jimin sudah terlanjur memohon, ia tidak bisa mundur. Sebab bisa saja mood Raisya jadi buruk karena Jimin malah pergi.

Jimin tahu betul jika istrinya itu hanya ingin dibujuk. Meski Jimin juga sudah mulai lelah, namun dirinya tidak bisa meninggalkan Raisya dalam keadaan yang seperti ini. Jika Jimin melakukan hal itu, sama saja ia sedang menggali masalah yang baru.

Hidup dengan Raisya membuat Jimin banyak mengerti. pada dasarnya wanita itu sangat senang jika di bujuk. Mereka akan jual mahal supaya si pria mengerti bahwa eksistensi wanitanya itu begitu berharga. wanita juga ingin merasakan jika pria itu tidak bisa hidup tanpa dirinya. karena itulah yang menjadikan si wanita merasa amat berharga.

Dan di fase ini, terkadang pria tidak mengerti. Dan ada juga wanitanya yang keterlaluan.

Dalam diam, pintu kamar yang ada di depan Jimin kini terbuka dan menampilkan Raisya dengan balutan kaos berwarna hitam dan celana selutut senada keluar dari sana. Belum lagi rambut Raisya yang terurai. Ini adalah favorite Jimin.

"Ingin bicara di mana?" tanya Raisya yang kini sedikit mendongak untuk menatap wajah Jimin yang ada di hadapannya.

Lama Jimin bungkam dan tidak bersuara sampai akhirnya ia menarik tubuh Raisya masuk ke dalam pelukannya. Mendekap tubuh Raisya erat dengan sebelah tangannya mengelus permukaan rambut Raisya lembut.

Jimin meletakkan dagunya di atas kepala Raisya sambil tersenyum sedikit lega. "Aku merindukanmu," ungkap Jimin.

Raisya tidak membalas pelukan yang Jimin layangkan. Ia hanya diam saja sambil bola matanya terus memperhatikan sekitarnya. Takut jika ada orang lain di sekitar mereka.

Meski sudah resmi menjadi sepasang suami istri, namun Raisya mengerti batasan ia bisa bermesraan dengan Jimin. setidaknya tidak di luar meski hanya sebatas memeluk. Namun pelukan Jimin yang satu ini terasa lebih intens.

"Sajang-nim bisa lepaskan aku? Aku khawatir eomma dan appa melihat kita," keluh Raisya.

"Biar saja mereka lihat. Semalam kami sama-sama khawatir padamu. Siapa tahu jika mereka melihat kita seperti ini, mereka akan lebih tenang." Jimin mengatakan itu sambil menambah erat pelukan yang ia lakukan.

Raisya diam saja tidak membalas. Mungkin ia juga sudah terlalu kelewatan jika sampai membuat kedua mertuanya sampai khawatir semalam. Raisya jadi tidak enak juga. Seharusnya ia bisa lebih mengendalikan dirinya.

Setelah Raisya merasa jika aktivitas yang Jimin lakukan sepihak pada tubuhnya itu berlangsung terlalu lama, Raisya kembali bersuara. Kali ini tidak hanya berbicara, tapi Raisya juga sedikit mendorong pinggang Jimin agar pelukannya bisa terlepas.

"Jika hanya berpelukan saja, Sajang-nim jadi tidak akan berbicara."

Jimin mau tidak mau kini melepaskan rengkuhannya. Memberi sedikit jarak pada Raisya lantas beralih untuk mengelus pucuk kepala Raisya dengan lembut dan beralih pada pipi wanitanya. Jimin setidaknya bisa bersyukur karena Raisya tidak bertindak terlalu jauh. Jimin juga percaya jika Raisya bukan tipe yang seperti itu.

"Baiklah. Sambil menunggu bibi menyiapkan sarapan kita, bagaimana jika kita mengobrol di tepi kolam sambil menceburkan kaki? Atau kita bisa mengobrol di balkon sambil berjemur."

Opsi yang diberikan Jimin jelas adalah sesuatu yang sangat Raisya sukai. Raisya suka ketika Jimin yang memberi opsi dan dia yang akan memilih. Tidak hanya sekedar bertanya, tapi Jimin memberikan opsi.

Jadi, Jimin akan jarang sekali mendapatkan jawaban "terserah" dari dirinya.

"Balkon."

"Balkon di mana? Di depan rumah? Di kamarku? Atau di kamar ini?" tanya Jimin memastikan.

"Kamar ini."

"Baiklah, pintunya jangan di kunci lagi. Aku akan kembali setelah bertemu dengan bibi agar mengantarkan sarapannya ke kamar saja."

Raisya menganggukkan kepalanya lantas ia langsung membalikkan tubuhnya saat Jimin kini menuruni anak tangga untuk menemui bibi yang biasa memasak di rumah jika ibu Jimin sedang tidak ingin memasak.

Ia kini menyempatkan diri untuk sekedar pergi ke kamar mandi dan menggosok gigi serta mencuci wajahnya. Setidaknya ia harus memakai sunscreen sebelum berjemur. Meski sinar matahari pagi baik untuk kulit, tapi sunscreen tetap harus digunakan.

Raisya kini melihat Jimin tengah membereskan bagian balkon. Meletakkan bantal di sebuah kursi yang ada di sana dan mengelap meja dengan tisu agar tidak kotor. Raisya kini menyambar ponselnya dan langsung menghampiri Jimin.

Ia mendudukkan diri di salah satu kursi yang ada. Mereka duduk sama-sama saling menyamping dengan sebuah meja kaca kecil sebagai penengah. Sinar matahari belum sepenuhnya muncul. Namun semburat berwarna jingga sudah mulai terlihat.

"Raisya?" panggil Jimin.

"Ada apa?" sahut Raisya.

"Terima kasih."

"Untuk?"

"Keseruan yang semalam. Kau hebat sekali membuat jantungku seolah akan lepas dari tempatnya!" seru Jimin semangat.

Raisya tersenyum tipis lantas kembali memalingkan wajahnya untuk melihat ke depan. Ini adalah akhir pekan, jadi ia bisa bersantai. Namun jalanan di Seoul tetap tidak akan bisa kosong. Selalu ramai bahkan saat masih sangat pagi.

Orang-orang sedang berlomba untuk mempertaruhkan keberuntungan mereka hari tak peduli jika seharusnya mereka bisa beristirahat lebih lama. Orang-orang lebih rela tubuh mereka letih ketimbang tidak bisa makan dan kelaparan.

"Raisya-yya?" panggil Jimin.

Raisya kembali menolehkan kepalanya ke arah Jimin lagi. "Kenapa?". Jimin kini meraih jemari Raisya dan menggenggamnya cukup erat. Menyalurkan kehangatan yang dimiliki oleh telapak tangannya.

"Terima kasih karena sudah percaya padaku," ungkap Jimin sambil menguarkan senyumannya.

Sungguh jika ada sesuatu yang mampu membuat Raisya merasa lebih baik dari kondisi sebelumnya, Raisya akan mengatakan senyum Jimin adalah salah satu hal yang mampu merubah kondisi hatinya.

"Aku percaya karena buktinya memang seperti itu. Aku tidak akan membela Sajang-nim jika memang ternyata Sajang-nim bersalah atas hal ini. Ucapanku yang semalam, aku tidak sedang bercanda."

HAN JIMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang