Bagian 5

48 16 3
                                    

"Hati-hati sayang."

"Ini aku udah hati-hati, mas."

Pria itu terus saja memegangi kedua tangan sang gadis dengan erat.

"Wah, aku udah berhasil jalan sampai sejauh ini mas."

"Syukurlah, aku ikutan senang sayang."

"Nanti kalau aku udah bisa jalan normal, kamu mau kemana?"

"Kemana aja asal bareng kamu."

Gadis itu tersipu dan memukul pelan pergelangan tangan pria tersebut. "Gausah gombal dulu sayang, kaki aku ga cukup kuat buat ngejar-ngejar kamu yang selalu berlari-lari di kepala aku."

Pria itu menoel hidung sang gadis, "Barusan apa? Kamu juga gombalin aku tau."

Gadis itu memanyunkan bibirnya. "Mau ice cream, boleh?"

Pria itu menggeleng, "Kamu belum pulih, jadi makan ice creamnya ditunda dulu ya sayang."

"Pasien atas nama Naya?"

Gua berhenti menatap sepasang kekasih tadi dan mengacungkan tangan. "Saya, suster."

"Sekarang sudah bisa menjumpai dokter Nando."

Gua beranjak dari kursi penunggu dan memasuki ruangan dk. Nando

"Hallo, selamat siang Naya. Bagaimana kabarnya hari ini?"

"Hai, dok. Saya baik."

"Oke, sekarang kita akan mulai dari hal-hal yang kamu sukai. Seperti membaca novel, berkemah, minum kopi, dan sebagainya."

Gua mulai menjawab semua pertanyaan sang dokter.

Tidak sampai setengah jam, terapi ingatan gua berakhir.

"Sejauh ini sudah bagus. Saya harap kamu rutin menjumpai saya dan meminum habis obat yang sudah saya catat. Ini ada resep terbaru buat kamu, diminum jika kamu mengalami pusing di kepala."

"Baik, dok. Terima kasih."

Gua mengambil secarik kertas yang dk. Nando berikan ke gua dan langsung ke apotek rumah sakit.

"Mba, saya mau beli obat yang tertera di kertas ini."

"Baik, mohon tunggu sebentar ya."

"Ini, mba." Suster memberikan kantung kresek berisikan obat ke gua.

Setelah membayar, gua langsung pulang untuk beristirahat.

~~~

"Semuanya sudah mpok siapkan?"

"Sudah tuan, tinggal barang-barangnya aden yang belum."

"Sekarang kabarin Rey, bilang kalau saya maksa biar mereka bisa berlibur."

Gua terbangun dari tidur karena mendengar samar-samar suara pria yang gua kenal.

Gua menguap sebentar lalu mengecek jam di nakas.

Jam menunjukkan pukul 17.12

Gua segera turun dan menjumpai pria yang saat ini berbincang dengan mpok Sari di ruangan santai.

"Papa?"

"Hai Naya, gimana tidurnya sayang? Nyenyak?"

Gua mengangguk singkat, "Papa ga kerja?"

"Papa ambil cuti demi jumpai kamu."

Gua ikut duduk di sebelah papa.

"Ada apa, pa?"

"Kamu ga pernah liburan semenjak terjadinya kecelakaan. Jadi papa mau kamu liburan bareng suami kamu, gimana?"

"Terserah papa."

"Oke, papa tunggu jawaban Rey dulu. Semoga aja dia setuju."

Gua berdehem pelan.

Malamnya

Kami bertiga sedang menyantap makan malam dengan suasana tenang.

Papa ambil alih untuk membuka topik dengan menanyakan hal yang tidak terduga.

"Kalian kapan kasih papa cucu?"

Gua melirik Rey sebentar, lalu kembali menyantap makanan gua dengan tenang.

"Untuk saat ini, Rey belum kepikiran sampai ke sana pa."

"Ayo dong disegerakan, papa udah ga sabar nih gendong cucu."

"Iya, pa. Secepatnya kami lakukan."

"Papa udah nyiapin tiket liburan buat kalian berdua. Besok kalian udah bisa siap-siap berangkat ke sana. Tempatnya ga terlalu jauh dari sini dan suasananya juga lumayan tenang."

"Sebelumnya makasih pa, tapi Rey lagi banyak kerjaan di kantor."

"Itu urusan gampang, ntar kamu bisa suruh bawahan kamu yang selesaikan semuanya. Kalau berkas penting, ya kamu perpanjang aja deadlinenya."

Rey menatap gua dengan tatapan dingin.

"Pa, kalau Rey ga bisa jangan dipaksa. Kami bisa liburan kapan-kapan kok, ga harus besok."

"Bagaimana, Rey?"

Papa mengacuhkan ucapan gua dan terus mendesak Rey agar setuju dengan idenya itu.

"Nanti Rey pikirkan, pa."

"Oke, papa anggap kamu setuju."

Gua menghela napas. Bisa-bisanya papa mengambil langkah senekat ini.

Selesai makan, gua dan Rey mengantarkan papa ke teras rumah.

"Kalau udah selesai berlibur, jangan lupa kabarin papa ya."

Gua mengangguk, "Hati-hati di jalan, pa."

Setelah papa pulang, gua langsung menutup pintu. Namun, mendadak tangan gua dicegat Rey saat gua hendak melangkah pergi.

"Lo terima?"

Gua menggeleng, "Papa yang menyetujuinya sendiri."

"Kenapa lo ga nolak?"

"Ga ada pilihan, yang ada papa bakal maksa gua kayak tadi juga."

"Lo belum coba, mungkin aja kalau lo yang bicara bokap lo bakal dengarin lo."

Gua menghela napas sejenak, "Kalau lo ga bisa, jangan dipaksakan. Ntar gua kabarin papa."

"Gua ga ngerti sama keluarga lo. Mau seenaknya tanpa mikirin kesibukan gua." Rey langsung pergi ninggalin gua.

• • •

GIRASSOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang