Bagian 21

21 13 0
                                    

Gua berlari keluar caffe dan berjalan cepat menjauhi daerah tersebut.

"Ga mungkin, pasti ucapan cowok itu bohong."

Gua terus berjalan sambil mencari keberadaan taxi yang lewat.

Duarr!

Rintik-rintik hujan mulai membasahi bumi.

"Nara bunuh diri karena sudah tidak sanggup dengan beban yang ia tanggung."

"Nara mendonorkan matanya buat kamu."

"Nara ingin membuktikan ke kamu bahwa dia benar-benar sayang sama kamu, agar kamu tidak lagi membenci kehidupannya."

Gua menutup kedua telinga gua dan berteriak dalam hujan.

"Gua benci dengan kenyataan ini!! Gua ga mau dilahirkan di dunia ini jika masalahnya bakal serumit ini!"

"AAAAAA!!!!!"

Gua menangis dalam rintik-rintik hujan dan terus berjalan tanpa tujuan yang jelas.

"Gausah sok baik di depan gua, lo bukan Nara!!" - Rey

"Kamu yang selalu menyusahkan keluarga ini." - Sinta

"Anak pembawa sial!!" - Sinta

"Lo jauh beda dengan Kinara." - Aldo

"Adik lo sangat feminim dan lugu. Sayangnya, secepat ini adik lo pergi." - Aldo

"Sifat kamu berbanding terbalik dengan saudara kembar kamu itu." - Papa

Tangisan gua semakin kencang mengalahkan derasnya hujan yang turun pada sore ini.

Hampir 15 menit lamanya gua duduk termenung di dalam halte.

Hujan sudah semakin reda dan tangisan gua juga sudah mengering.

Gua bergegas melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.

Tiba-tiba pandangan gua berhenti pada toko bunga yang ada di ruko tepi jalan.

"Beli bunga, dek? Silahkan tengok-tengok dulu. Masih pada baru bunganya."

"Saya mau bunga ini, pak. Dibungkus rapi ya."

"Baik, dek. Tunggu sebentar ya."

Penjual bunga memberikan sebuket bunga matahari ke gua.

Setelah gua membayarnya, gua langsung mencari taxi yang lewat.

Pemakaman JKT

Gua berhenti di depan batu nisan bertuliskan nama 'Kinara Dwi Relina'

Gua berjongkok di sebelah pemakaman Nara dan menyambutnya dengan bunga kesukaannya.

"Makam lo terawat ya, Ra. Rey benar-benar sayang banget sama lo."

Gua memetik rumput kecil yang sepertinya baru tumbuh di tepi makam dan memegangi batu nisan Nara.

"Maafin gua kalau selama ini gua ga perhatian sama lo. Gua sama sekali ga pernah benci sama lo, apalagi sampai merebut kebahagiaan lo."

Seketika dada gua menjadi sesak dan tidak mampu berbicara lagi.

"Gu-gua..."

Alhasil, tangisan gua kembali pecah di depan makam Nara.

"Gua ga-gatau apa yang selama in-ini lo alamin..."

Gua berhenti menangis. "Duh, kenapa sekarang gua jadi cengeng gini."

"Awas aja lo ketawa, Ra. Jarang-jarang gua nangis konyol gini di depan lo."

Gua menunduk seketika, "Gua janji sama lo, gua akan cari penyebab kematian lo."

"Gua ngerasa, kecelakaan yang terjadi dengan gua satu tahun lalu ada kaitannya dengan kematian Nara saat itu."

Gua menghela napas, "Kalau gitu gua pamit ya, Ra. Jaga diri lo baik-baik."

Gua langsung pergi dari pemakaman Nara dan segera mencari taxi yang lewat.

~~~

"Apa? Lo gila ya?"

"Aku yang gila? Mereka semua yang gila, kak."

"Jangan nekat, Gibran. Lo ga tau kalau kondisi Naya itu belum pulih total. Kalau lo masih maksa Naya untuk mengulik kematian Nara, gua ga akan biarin Naya menderita karena ulah lo."

"Aku paham kondisi Kak Naya saat ini sedang dalam pemulihan ingatan. Tapi dia juga harus tau penyebab kematian saudara kembarnya itu."

"Stop, udah ya. Berhenti bicara omong kosong."

Suci langsung memegangi kepalanya yang sedikit pusing.

"Aku sebagai sahabatnya selalu ga tega lihat kondisi Nara menderita. Apalagi pas dia tau kalau Naya kecelakaan."

"Argh, lo perlu gua gigit dulu baru bisa sadar situasi, ya."

Gibran menghela napas.

"Gua paham kok. Nara harus mendapatkan keadilan di dunia ini, tapi ga dengan cara ini juga Gibran. Kalau misalnya Naya depresi gara-gara lo kasih semua fakta menyakitkan ini, bagaimana kelanjutan hidupnya? Apa lo mau tanggung jawab?"

"Kalau soal itu maaf, kak. Aku ga berpikiran sampai ke sana."

"Terus ini gimana? Naya percaya sama ucapan lo?"

"Aku kurang yakin, tapi kayaknya dia ga percaya sama sekali dengan apa yang aku beritahu."

"Mana kertas yang lo tunjukkan ke Naya tadi."

Gibran menyerahkan kertas itu ke Suci.

"Ini biar gua yang pegang. Kalau waktunya udah tepat, gua bakal kasih tau semuanya ke dia. Awas aja lo kayak tadi lagi."

"Maaf, kak."

"Ya udah, gua lanjut kerja dulu ya. Lambe lo dijaga."

Gibran menunduk saat Suci beranjak dari hadapannya.

"Duh. Apa Naya percaya sama ucapan tuh anak, ya? Semoga aja engga deh." Suci jadi tidak bisa fokus bekerja saat ini.

~

"Rey, gua perlu bicara sebentar sama lo."

Rey tidak merespon dan berlalu dari kamar.

Gua segera menuruni anak buah tangga dan mengejar Rey.

"Sejak kapan lo punya bar?"

Sontak Rey berhenti melangkah.

"Apa lo sering ngajak Nara ke sana?"

Rey tidak memperdulikan pertanyaan gua dan berlalu dari balik pintu rumah.

• • •

GIRASSOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang