Bagian 20

27 15 0
                                    

Setelah kejadian tadi pagi, Juan langsung meninggalkan gua sendirian di dalam rumah.

Gua membuka buku kecil dan mulai mencatat sesuatu.

Ingatan
- Bar
- Suara musik dan dentuman gelas
- Lampu-lampu malam
- Terdorong ke jalanan : Vio (teman Juan)

Gua memukul tangan gua ke atas meja dan menggertak kuat. "Dia ngomong apa barusan?"

Gua meremas kertas yang ada di buku tersebut dan menahan kesal. "Jadi gua kayak gini gara-gara cewek itu. Sialan!!"

Drttt.

Whatsapp - sekarang
Unknown
Naya, ini gua. Ryan.
Bisa ketemuan sekarang?

~~~

Gua menatap malas ke arah Ryan.

Kejadian di bar saat itu, membuat gua jadi tidak suka dengan sikap Ryan.

"Sebelumnya gua mau minta maaf sama lo. Awalnya kami mau ngadain perayaan buat lo sebagai istri dari teman kami. Tapi, sepertinya lo ga suka dengan ide itu."

"Maksud lo dari bar itu milik Rey, apa itu benar?" Gua mengalihkan topik pembicaraan.

Ryan menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Eum, lo bisa tanyakan langsung sama suami lo."

Gua menyeruput sebentar jus mangga yang gua pesan. "Inti dari pertemuan ini?"

"Gua mendengar kabar tidak mengenakkan tentang lo."

"Tentang?"

"Kecelakaan tragis yang lo alamin. Gua turut berduka untuk itu. Katanya adik lo kecelakaan juga beberapa hari setelah lo dinyatakan koma di rumah sakit."

Gua menyerjit heran, "Lo tau dari mana semua itu?"

"Dari teman-teman. Berhubung setahun yang lalu gua ga ada di kota ini. Jadi, tadi mereka bahas ini."

"Lagian kejadian itu juga udah berlalu. Gua ga mau mengingatnya lagi."

Ryan tersenyum tipis, "Pokoknya yang terbaik aja buat lo. Jaga kesehatan dan sekali lagi gua minta maaf atas kejadian di bar malam itu, ya."

Gua berdehem singkat.

"Kalau gitu gua pamit, mau ngumpul bareng sama teman-teman."

Ryan meninggalkan gua sendirian di caffe.

Mendadak, semua kejadian hari ini menimbulkan banyak tanya bagi gua.

'Kira-kira kenapa dan bagaimana gua bisa kecelakaan.'

Setelah gua mengetahui dari satu sisi, bahwa orang yang mendorong gua ke jalanan adalah teman Juan, membuat gua kembali berfikir kenapa gua bisa seceroboh itu dan ga menghindar cepat.

Ya, walaupun gua mengetahui bahwa maut tidak bisa dihindari.

Tapi yang pasti, gua ga pernah termenung di pinggir jalan. Apalagi di tempat daerah terlarang.

Semua pemikiran ini, membuat gua menjadi pusing seketika.

~~~

"Aww."

Gua kejenglal dan hendak tersungkur ke depan, namun seseorang menangkap gua dan menatap gua sangat lama.

"Makasih."

Orang yang menolong gua, kini mengacungkan tangan ke hadapan gua.

"Senang bertemu kembali. Kamu Naya atau Nara?"

Sontak gua menyerjit heran. "Lo siapa?"

Saat ini kami berdua duduk di salah satu meja caffe yang sama saat pertemuan gua dengan Ryan barusan.

Gua menatap intens ke arah cowok yang kini berjas rapi.

"Nama aku Gibran, kamu?"

"Gua Naya. Tadi kenapa nanyain nama gua dengan adik gua?"

Gibran mengeluarkan berkas dari dalam tas yang dia bawa dan menyerahkannya ke atas meja.

"Aku temannya Nara, kak."

Sontak gua menatap penuh ke arah Gibran. "Lo teman adik gua? Kinara?"

Gibran mengangguk. "Kabar kakak bagaimana?"

"Gua? Ada apa dengan gua?"

"Mulai saat ini lebih baik kakak konsultasi bareng dokter Doni. Lebih terpercaya dan terjamin kesehatan kakak."

Gua tergelak, "Duh, agak aneh ya lo manggil gua kakak. Panggil nama aja, kita seumuran kok."

Gibran diam tidak merespon.

"Gua dengan Nara 'kan saudara kembar dan seumuran, ga usah manggil kak. Santai aja sama gua."

"Silahkan dilihat berkas ini, Nay."

"Bentar. Jadi yang nolongin gua di jalanan itu, lo?"

"Iya."

"Makasih ya. Ini kedua kalinya gua ngucapin makasih sama lo."

Gibran mengerjapkan matanya beberapa kali.

"Ada apa?"

Gibran menggeleng pelan, "Sikap kamu beda banget sama Nara."

Gua berhenti mengukir senyuman. "Beda gimana?"

"Semuanya."

Gua menyerjit bingung. Tatapan gua teralihkan ke berkas yang tadi Gibran letakkan ke atas meja.

"Lo mau nawarin proyek ke gua?"

"Buka aja."

Gua langsung mengeluarkan kertas yang ada di dalam amplop dan membacanya.

Seketika tatapan gua berhenti ke arah Gibran.

"Kamu jangan marah dulu, aku akan menjelaskan semuanya secara rinci ke kamu."

"Maksud dari semua ini, apa benar?"

Gibran mengangguk pelan. "Kertas ini langsung dari tulisan Nara sendiri."

"Jadi, selama ini Nara ga kecelakaan. Tapi bunuh diri?"

"Nara bunuh diri karena sudah tidak sanggup dengan beban yang ia tanggung."

Gibran menunduk, "Sehingga Nara mendonorkan matanya buat kamu."

Sontak gua terpaku di tempat.

"Nara ingin membuktikan ke kamu bahwa dia benar-benar sayang sama kamu, agar kamu tidak lagi membenci kehidupannya."

Gua menggeleng-geleng.

Apa-apaan lagi ini!

Gua sudah tidak tahan lagi mendengar semua kenyataan yang terjadi di kehidupan gua sekarang.

"Gua ga percaya sama lo!"

Gua langsung meninggalkan Gibran di caffe tersebut.

• • •

GIRASSOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang