"Selamat, kamu hamil Naya. Mungkin kalau aku masih hidup, anak kita bisa berteman baik sekarang."
"Maksud lo?"
"Iya, anak kita. Tapi kayaknya anak aku lebih dulu lahir dari anak kamu. Sekarang anak aku udah berumur 1 tahun lebih."
"A-anak siapa?"
"Anak aku lah, anak aku sama..."
"Lo hamil diluar nikah?"
"B-bukan gitu Nay, aku bisa jelasin semuanya."
"Siapa orang yang udah berani hamilin lo? bilang ke gua Nara!!"
"BILANGG!!!" Gua langsung terbangun dari tidur.
"Huhh, gua mimpi apaan ya. Kenapa dia bicara ngelantur." Gua menguap seketika.
"Hampir mau gua siram air. Sana mandi, papa datang." - Rey
"Gua ga mau ketemu siapa-siapa."
"Temuin sekarang juga!"
"Gua ga mau Rey."
"Sana cepetan, atau lo mau gua mandikan biar cepat?" Rey tersenyum miring.
"Otak lo mesum, pergi sana!"
Gua dengan cepat mengambil handuk dan berlari ke dalam kamar mandi.
Rey menggelengkan kepala lalu keluar dari kamar.
Setelah selesai mandi, dengan malas gua menemui papa di ruang tengah.
"Papa senang akhirnya kamu memberikan papa cucu."
Gua menatap malas ke arah Sinta.
"Mama juga senang banget, akhirnya sebentar lagi mama bisa gendong cucu."
"Anda siapa saya?"
"Naya, jaga omongan kamu!" Tegas Zaki.
"Lagian kenapa papa bawa dia ke sini sih? Papa mau lihat Naya sakit?"
"Dia mama kamu Naya."
"Dia bukan mama Naya, pa!!"
"NAYAA!!"
"Maaf, jangan berbicara kasar dengan istri saya, pa." Rey datang dan berdiri di hadapan gua.
"Suasana hati papa sedang bagus, jadi jangan pancing papa buat marah."
Rey memilih duduk dan menarik tangan Naya untuk ikut duduk di sebelahnya.
"Berapa usia kandungan kamu, nak?" - Sinta
"Berapapun itu, ga ada untungnya buat anda!" Sarkas gua begitu emosi.
"Naya." Bisik Rey tepat di telinga gua.
"Baru beberapa minggu, ma." - Rey
"Oh, baru ya. Jaga kesehatan ya Naya, mama doain dari jauh semoga kamu dan bayi baik-baik saja." Sinta tersenyum aneh.
Ya, bagi gua itu aneh dan sangat menjijikkan.
"Kamu dengarin mama tuh, dia begitu senang tadi dengar kamu hamil cucunya. Malahan mama yang semangat banget untuk datang ke sini." - Zaki
Gua mencibir geram. "Banyak bacot tuh nenek lampir." Gumam gua pelan.
"Gua dengar." Bisik Rey.
Gua menghela napas. "Bagus deh lo dengar, kalau bisa si nenek juga dengar."
"Kamu ga pernah konsultasi lagi ya sama dk. Nando? Katanya terakhir kali kamu ke sana pas sama mama dan itupun udah lama loh. Memangnya kamu udah ga ngerasain sakit lagi? - Sinta
"Terus?" Tanya gua.
"Naya, mama itu mau kamu cepat sembuh. Sekali-kali dengarin ucapan mama, nurut dan lakukan." - Zaki
"Hm." Jawab gua muak dengan si lampir.
Melulu papa belain dia, mau gimanapun ucapan gua ga pernah didengar oleh papa.
"Ya udah, kalau begitu kami balik dulu. Kamu jagain anak papa baik-baik ya, Rey." Papa bangkit dari duduknya.
"Yah, mas. Cepat banget, padahal aku masih kangen sama Naya." - Sinta
Gua melotot tajam ke hadapan Sinta, gila kali ya tuh orang. Masih bisa-bisanya dia bersikap pura-pura di hadapan papa.
"Malam itu, saya ingat semua tentang anda."
Sontak Sinta terpaku di tempat.
"Maksud kamu?" Heran Zaki
Rey ikut menatap bingung ke arah gua.
"T-tentang siapa?" Ujar Sinta tampak pucat.
Gua tersenyum senang. "Sebentar lagi juga anda tau apa yang saya ucapkan ini. Udah sana, pergi. Saya mau istirahat."
Gua langsung naik ke lantai atas.
Rey menyusul dan ikut naik ke atas ranjang. Ia duduk di sebelah gua dan menepuk paha gua sebentar.
"Kenapa lo ga sopan sama orang tua?"
"Buat apa sopan sama dia? Dia ga pantas buat dibaikin."
"Lo sebegitu bencinya sama mama lo. Padahal dia baik."
Gua menatap tajam Rey. "Baik? Lo salah menilai orang. Dia sama sekali ga seperti yang lo lihat."
"Ya udah, kalau gitu lo istirahat. Gua mau ke kantor."
"Hm." Gua merebahkan diri untuk tidur.
Rey bersiap-siap untuk kerja dan gua berusaha memejamkan mata.
Lagi, lagi, gua berada di alam mimpi.
"Nay, kamu udah bisa memecahkan kasus kematian aku?" - Nara
"Siapa yang hamilin lo? dan kenapa semua itu bisa terjadi?"
"A-aku ga bisa bilang sekarang, Nay."
"Terus kenapa lo selalu ganggu ketenangan gua, jawab!!"
"Aku cuma ga mau kamu merasakan hal yang sama sepertiku. Tidak semua orang yang kamu kenal, begitu adanya. Kebanyakan mereka hanya memakai topeng untuk terlihat polos dan biasa-biasa saja."
"Lo ngomong apa sih? Kalau ngasih kode yang jelas, kepala gua udah ga bisa berpikir normal lagi, Nar."
"Kamu bisa, kamu pasti bisa Nay. Lebih baik kamu fokus dulu buat menjauhkan papa dari mama Sinta."
Gua menyerjit bingung. "Maksud lo?"
"Kamu harus bisa ingat kejadian malam itu. Secara bersamaan kamu mengetahui semua hal, maka dari itu kamu ketakutan dan berakhir kecelakaan."
Gua semakin tidak mengerti dengan ucapan Nara. "G-gua harus apa? Ingatan itu udah ga bisa gua paksa kembali."
"Kenapa? Apa karena kamu ga siap menerima kenyataan yang ada?"
"Plis, tinggalkan gua sendiri Nar. Gua mau istirahat sekarang."
"Baiklah. Kalau kamu butuh sesuatu, panggil aku dalam mimpimu. Aku akan siap menjawab pertanyaan yang ada dibenakmu, Naya."
"Huhh, hahh, huhh, hahh..." Gua langsung membuka mata saat Nara menjauh dari hadapan gua.
"Non sudah bangun? mau bibi siapkan sarapan buat non?"
Gua menyerjit, "Sarapan? Apa sekarang udah pagi?"
Gua langsung menatap ke arah luar balkon.
"Bagaimana, non?"
"Boleh, mpok. Rey mana, ya?" Gua langsung mencari-cari keberadaan Rey di setiap sudut kamar.
"Oh, itu non. Aden belum balik dari tadi malam."
"Ha? Apa Rey ada ngabarin mpok mau pergi kemana?"
Mpok Sari menggeleng, "Ga ada non. Kalau gitu mpok ke bawah dulu ya non."
Setelah berhasil mengontrol diri, gua langsung bersiap-siap untuk sarapan.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
GIRASSOL
Teen FictionMungkin, kita sepenggal kisah yang lupa ditamatkan oleh penulisnya. Lalu terkubur waktu hingga membuat tokoh utama terjebak kenangan. [ Bunga Matahari ] - Perjodohan 𝐂𝐨𝐩𝐲𝐫𝐢𝐠𝐡𝐭©𝟐𝟎𝟐𝟐 𝐛𝐲 𝐟𝐢𝐟𝐚𝐟𝐢𝐫𝐚𝐡