Bagian 23

21 15 0
                                    

"Jadi lo percaya sama apa yang diucapin Gibran."

"Lo kenal sama tuh orang?"

Suci berdehem pelan, "Sebenarnya gua udah tau ini sejak lama."

"Kenapa lo baru bilang sekarang sama gua?"

Suci menyerahkan berkas tersebut ke hadapan gua. "Sorry, tapi waktu itu gua ga mau nambah beban pikiran lo."

Gua langsung membuka isi di dalam berkas tersebut dan membacanya.

"Ini benaran Nara sendiri yang tulis?"

Suci mengangguk ragu, "Kayaknya sih. Soalnya yang tau pasti itu si Gibran. Bahkan pas lo koma aja dia sering jengukin lo."

"Kenapa?"

"Itu menjadi alasan utama gua kenapa bisa kenal dan dekat sama dia. Hampir setiap minggu gua selalu ketemu dengan dia di ruang rawat lo waktu itu. Katanya, dia mau mengabulkan permintaan Nara untuk selalu ngejaga lo."

Gua ber oh pelan. Setelah gua membaca kembali isi tulisan di kertas tersebut, gua menatap penuh ke arah Suci.

"Lo benar-benar gatau kegiatan Nara selama ini?"

"Aish, kenapa lo nanya gua? Gua 'kan ga dekat sama saudara kembar lo. Coba deh hal itu lo tanyain di cermin, mungkin aja lo dapat jawabannya."

Gua terdiam sesaat.

"Tapi lo tenang aja, Nay. Gibran bakal bantuin lo menemukan siapa yang sudah bikin adik lo depresi sampai berniat bunuh diri."

Gua mengangguk-angguk. "Bilang makasih ya ke Gibran. Ini ucapan yang ketiga kalinya buat dia."

"Satu dan duanya kapan, tan?"

"Pihak keempat ga boleh tau."

"Jadi, apa perlu gua tanya langsung aja ke Tuhan?"

"Coba aja kalau udah benar-benar siap meninggalkan dunia ini."

Suci merengek, "Weh, jangan dulu. Pahala gua masih dikit."

Gua menatap malas ke arah Suci. "Makanya jangan cari masalah mulu sama atasan, jadi nambah 'kan dosa lo."

Suci mencibir kesal, "Iya juga sih, tapi si kakek ngerempong mulu pas gua kerja."

Gua menggelengkan kepala heran, lagi lagi Suci tidak pernah mau berbaik hati dengan bosnya itu.

Pesan Terakhir

Hai Naya.

Setelah kamu membaca pesan ini, aku harap kamu tidak kecewa dengan keputusan yang aku ambil.

Semoga kamu selalu sehat dan baik-baik saja dimanapun kamu berada.

Ada banyak hal yang belum aku ceritain ke kamu bahkan ke siapapun.

Aku tidak cukup berani untuk menyampaikan hal kotor ini kepada kamu.

Intinya, aku selalu sayang sama kamu.

Saudara kembarmu,

Nara

Gua menutup wajah gua menggunakan kedua tangan dan memejamkan mata sejenak.

"Siapkan baju biru dongker ya mpok, saya mau mandi dulu."

"Baik, den."

Gua langsung buru-buru memasukkan kertas tersebut ke dalam amplop dan meletakkannya ke dalam laci tata rias.

Drttt.

Whatsapp - sekarang
Unknown
Ini nomor Gibran, bisa bicara sebentar?

Gua membuka aplikasi Whatsapp dan menyimpan nomor tersebut.

Gibran
Ini nomor Gibran, bisa bicara sebentar?

Bisa

Kamu udah tau keputusan
apa yang Nara ambil?

Belum.
Keputusan apa?

Lebih enak ngobrol
langsung.

Ya udah, kita ketemuan
di caffe kemarin.

Oke.
√√

Gua menutup layar ponsel dan menahan napas.

"Huhh, semoga semua ini mempengaruhi ingatan gua untuk kembali."

Caffe

Gibran mengeluarkan beberapa kertas kecil dari dalam tasnya.

"Apa ini?"

"Sesuai isi kertas yang ditulis Nara. Kecewa dengan keputusan yang aku ambil. Berarti ada sesuatu yang membuat dia terpaksa memilih jalan terakhir itu."

"Jadi?"

Gibran membentang semua kertas dan memperlihatkannya ke gua.

'Keputusan yang aku ambil.'

'Semoga kamu selalu sehat dan baik-baik saja.'

'Tidak cukup berani menyampaikan hal kotor.'

"Bagaimana menurut kamu, Nay? Ada makna tersirat ga dari ketiga kalimat ini?"

"Semuanya memiliki makna."

Gibran menjentikkan tangannya ke hadapan gua. "Nah, itu makanya. Aku curiga sama geng pacarnya itu."

"Maksud lo, Rey?"

"Iya, siapa lagi. Mereka udah pacaran selama 5 tahun."

"Kok lo bisa mikir sampai ke sana."

"Nara ga pernah dekat sama siapa-siapa, kecuali sama teman-temannya Rey. Karena apa? Karena Rey selalu ngajak Nara ke perkumpulan mereka dan ga ngebolehin Nara dekat dengan cowok selain mereka."

"Serius?"

"Dua rius, Nay."

Gua terdiam sejenak. "Eum, btw lo teman sma Nara, ya?"

Gibran mengangguk, "Iya. Gua adalah orang yang pertama kali menyaksikan kisah cinta Rey dan Nara pas sma."

"Wih, lo pihak keempat dong dari kisah asmara mereka."

"Jangan bilang yang ketiga setan?"

"Tuhan!"

"Owh, ngomong dong dari tadi."

Gua mengambil salah satu kertas yang ada.

'Keputusan yang aku ambil.'

"Memangnya keputusan apa yang sudah dia ambil?" Gua bergumam lirih.

"Kamu ada bawa kertas yang Nara tulis itu?"

Gua menggeleng, "Kenapa?"

"Coba nanti pas balik, kamu pahami lagi maksud dari kata-kata tersebut. Mungkin aja Nara sengaja buat kalimat sesingkat itu agar cuma kamu aja yang mengetahui maksud dan tujuan kalimat itu disampaikan."

Gua terdiam sejenak. Ucapan Gibran ada benarnya juga.

"Ini awal dari bukti keadilan untuk Nara, Nay."

Gua langsung beranjak dari sana. "Gua balik dulu."

Gibran membereskan semua barangnya dan menyusul kepergian gua.

• • •

GIRASSOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang