Plakk!
Gua terdiam di tempat.
"P-papa nampar Naya?" Tanya gua kaget sambil memegangi pipi kanan gua yang memerah.
"Apa papa tidak pernah mengajarkan kamu sopan santun? Dari tadi papa lihat kamu selalu saja menuduh mama kamu yang tidak-tidak. Tadi papa bisa tahan, tapi sekarang kesabaran papa udah habis. Sekarang kamu pulang. Papa ga mau lihat kamu lagi di sini."
"Ini pertama kalinya papa nampar Naya dan itu cuma karena belain nenek kampungan ini?"
"Naya, keluar!" Tegas papa.
"Mas, udah." Lerai Sinta sok baik.
"Naya masih mau di sini. Naya ga mau papa diapa-apain sama si Sinting."
"Udah, kamu ngalah aja Naya. Nanti keadaan papa memburuk kalau kamu seperti ini terus." - Sinta
Gua menatap tajam Sinta. "Ini semua gara-gara lo, gila! Kalau aja lo ga masuk ke keluarga gua, gua bisa tertawa bahagia sampai sekarang!!"
"NAYAA!!" Tegas papa lagi.
"APA PA? APA?? Naya capek pengen ngeluarin ini dari lama."
Papa hanya diam tidak meresponnya lagi.
"Selama ini Naya diam dan memilih menjauh dari keluarga ini. Tapi apa? papa tetap ga merasa bersalah dan ga sama sekali ngunjungin Naya di Bali. Okay, Naya maklumin mungkin papa yang katanya 'sibuk' ngurus ini itu sampai ga bisa perhatiin anaknya sekalipun."
"Bukan gitu nak..."
"...Bukan gitu apa, pa? Bahkan Naya selalu ngirim papa pesan, tapi ga pernah papa balas."
Gua menatap sekilas ke arah Sinta. "Naya benci di saat pengganggu selalu saja bersandiwara merayu."
"Setelah Naya mencoba untuk berdamai dengan masalah ini, Naya langsung ke Jakarta mau menemui kembaran Naya. Tapi ga sampai seminggu, musibah selalu datang di kehidupan Naya, seakan Naya ga diizinin untuk menerima masalah ini."
"NAYA BENCI SINTA, PA. BENCI BANGET!!" Ujar gua terang-terangan.
"Karena dia, semuanya berantakan."
"Cukup Naya kehilangan keberadaan mama yang udah pergi ninggalin Naya ke luar negeri dan kepergian Nara selama-lamanya di dunia ini. Papa jangan."
Sinta berdeham singkat. "Ekhem."
"Lo! gua ingat malam itu. Malam dimana lo bertemu dengan selingkuhan lo."
"Apa yang kamu katakan, Naya?" Tanya Sinta sok bingung.
"Udah selingkuh, malah ga ngaku lo sinting. Apa yang lo harapin dari pernikahan lo sekarang? Anak? Hah, ya kali lo mau punya anak dari papa gua yang umurnya terpaut jauh dari lo. Eum, harta? Bisa jadi sih. Buktinya lo kesenangan banget rumah ini udah jadi milik lo."
"Jangan bicara omong kosong, Naya. Sekarang kamu pulang! Telpon suami kamu buat jemput kamu." - Papa
"Biar aku antar Naya sampai ke luar mas." Sinta menarik kuat pergelangan tangan gua.
"Awas! gua masih mau sama papa gua!" Gua memberontak.
"Lebih baik kamu tenangin diri kamu dulu di rumah. Ga kasihan kamu sama anak di perut kamu, Naya?" - Sinta
"Lo ga usah sok peduli sama gua. Ini 'kan yang lo inginkan?"
"Kalau iya, kenapa? Mungkin sebentar lagi lo akan memakai pakaian serba hitam dan menangis sesegukan." Bisik Sinta tepat di telinga gua.
Gua melihat ke arah papa yang sudah memejamkan matanya untuk tidur.
"SIALAN LO!!!" Teriak gua kuat dan hendak mendorong tubuh Sinta ke belakang, namun ia lebih dulu mendorong gua secara kasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
GIRASSOL
Teen FictionMungkin, kita sepenggal kisah yang lupa ditamatkan oleh penulisnya. Lalu terkubur waktu hingga membuat tokoh utama terjebak kenangan. [ Bunga Matahari ] - Perjodohan 𝐂𝐨𝐩𝐲𝐫𝐢𝐠𝐡𝐭©𝟐𝟎𝟐𝟐 𝐛𝐲 𝐟𝐢𝐟𝐚𝐟𝐢𝐫𝐚𝐡