Langkah santai Pras memandu Sandhya keluar pintu utama Pelataran Langit. Keduanya lalu menyusuri jalan setapak yang ada di samping bangunan kedai kopi. Ada taman-taman kecil yang kemudian mereka lalui. Sesekali suara ramah Pras menyelip di antara langkah kaki, menanyakan beberapa pertanyaan kecil tentang kota asal Sandhya, bagaimana dirinya bisa menemukan Paviliun Langit, dan juga sekelumit kesan perjalanan tadi.
Tidak sampai tiga puluh meter, mereka sudah memasuki pekarangan lain yang ada di balik tembok pembatas bangunan Pelataran Langit. Rumput-rumputnya tampak hijau dan subur seperti di pekarangan depan yang tadi Sandhya lihat, hanya saja halaman itu ukurannya jauh lebih luas. Sandhya seketika mendapati dua bangunan paviliun bergaya minimalis modern. Penampakannya seperti bangunan kembar yang identik. Perbedaan terbesar pada dua bangunan itu hanyalah pada luasnya—yang satu tampak lebih besar dari yang lainnya.
Bentuk dua paviliun itu menyerupai kubus, saling berhadapan, yang mungkin jaraknya hanya terpisah enam langkah saja. Temboknya putih dengan elemen kaca-kaca besar di sekelilingnya dan aksen kekayuan, membuat dua bangunan paviliun itu terkesan terbuka, bersih, serta hangat.
Langkah Sandhya masih terus mengikuti Pras yang berjalan lebih cepat di depannya. Mereka lalu berhenti di depan bangunan paviliun yang ukurannya lebih kecil.
"Nah, ini Paviliun Langitnya, Mbak," ungkap Pras seraya merogoh saku, berusaha mencari-cari kunci yang akan ia gunakan untuk membuka sliding door dari kaca itu. Sandhya lalu hanya menanggapi dengan anggukan tipis dan senyum.
Tatkala dirinya masih menunggu Pras yang masih mencari-cari kunci paviliun, satu pemandangan di seberang sana telah telanjur membuat Sandhya refleks memaku tatap. Dari bangunan paviliun yang lebih besar di seberangnya, tampak deretan sliding door kaca yang lebar-lebar menampakkan pemandangan di dalam.
Tanpa sekat, tanpa tirai, ruang bagian depan paviliun itu hampir seperti kotak kaca yang dengan leluasa bisa dilihat isinya dari luar. Sandhya menyaksikan bagian dalam ruang itu dikelilingi tembok-tembok putih polos. Satu-satunya perabot yang diletakkan di ruang depan itu, hanyalah sebuah sofa panjang warna abu-abu lembut yang berada di sudut ruang. Sinar mentari yang agak remang tampak menerobos leluasa, membuat permukaan lantai kayunya yang dipernis tampak kian mengkilat. Dan lalu, yang paling membuat Sandhya tak mampu melepas tatap dari sana, adalah saat dirinya mendapati sosok seorang pria yang sedang melukis di tengah-tengah ruang itu.
Sandhya tidak mampu melihat wajahnya karena posisi lelaki itu membelakangi deretan kaca-kaca. Hanya punggung dan bahunya saja yang tertangkap oleh pandangan Sandhya. Postur yang cukup ideal serta tubuh jenjang yang kira-kira hampir sama tingginya dengan Pras itu, tampak terbalut sweter rajut model turtle neck dan celana bahan cokelat muda.
Duduk di bangku kayu kecil yang tanpa sandaran, dari belakang punggungnya, jemari pria itu tampak sangat tenang menggores kuas di atas kanvas besar yang panjangnya kira-kira setengah meter. Meski Sandhya tidak mampu melihat wajah orang asing itu, tetapi sepasang netra Sandhya masih bisa melihat jelas lukisan yang dibuatnya. Karyanya tampak sudah hampir rampung.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Cloudy Place In Your Heart (FIN)
RomanceBagi Sandhyakala Dewi Kusuma (Sandhya), kehidupannya selama hampir tiga tahun belakangan sebagai seorang pengelana digital, alias digital nomad, bagaikan awan-awan yang berkelana tanpa tahu arah. Hampir tidak ada kata "menetap" dalam kamus hidup San...