Boleh banget tekan bintangnya atau tinggalkan komentar kalau kalian suka cerita ini. Selamat membaca.
-:-:-
"Ngerokoknya sendirian aja, nih? Nggak mau ngajakin Mas?"
Suara tenang Rendra seketika membuyarkan kesenangan Pras yang sedang serius mengisap batangan tembakau kretek yang terjepit di antara telunjuk dan jari tengahnya. Pria pencinta kopi yang masih mengenakan apron baristanya itu, hampir saja tidak mampu menguasai diri dan gelagapan ketika Rendra tampak sudah bersandar pada kosen pintu keluar yang letaknya ada di belakang bangunan Pelataran Langit.
Pras tahu, kakaknya itu hanya tengah mencoba menegur baik-baik dibumbui sedikit guyonan yang sayangnya sama sekali tidak terdengar lucu. Pras kemudian hanya berusaha bersikap tenang seraya mematikan rokok yang masih tersisa setengah, lalu membuang bekasnya ke mulut tong sampah. Selain tidak nyaman, ia paham kalau asap rokok hanya akan membuat Rendra semakin sakit.
"Mas Rendra belum istirahat?" tanya Pras, belum beranjak dari tempatnya. Ia masih segan mendekati sang kakak yang sudah menangkap basah dirinya.
Hampir pukul sembilan. Kala itu, Pelataran Langit memang sudah mau tutup. Malam pun kian larut dan hanya sedikit menyisakan muda-mudi atau pelancong yang bertahan di dalam ruang kafe.
Tatkala aroma khas dari asap tembakau itu perlahan hilang dari sekitar mereka, Rendra menghampiri adiknya dangan tenang. Ia kemudian hanya tampak memulas senyum teduh di bibir. Perasaan memaklumi yang bercampur sedih segera mengendap di batin. Yang ia tahu, selama ini Pras tidak pernah mau merokok. Rendra pun hafal kalau Pras dari semenjak remaja bukanlah tipe anak yang suka coba-coba tidak jelas. Pria dengan sweter turtleneck warna ivory white itu dengan cepat tersadarkan jika sebab musabab Pras memilih merokok kemungkinan besar karena rasa frustrasi—frustrasi akibat terlampau letih direpotkan oleh pesakitan seperti dirinya.
"Temenin Mas ngobrol sebentar, ya?"
Bukannya menjawab pertanyaan Pras barusan, Rendra justru mengajak Pras mengikutinya. Pras lalu hanya mengangguk kaku. Meski Rendra bicara dengan sangat tenang dan tidak menunjukkan tanda-tanda atau ekspresi kekesalan sama sekali, Pras masih saja segan. Langkahnya kemudian mengekori Rendra sampai ke picnic table yang ditempatkan di bawah naungan pohon trembesi berhias fairy lights temaram.
"Pras, kamu kalau mau pergi ke Jogja, pergi saja," ucap Rendra setelah mereka memilih duduk berdua di sana.
Kalimat Rendra yang sangat tidak ada basa-basinya, segera membuat Pras tertegun. Untuk sejenak, Pras hanya terdiam. Ia betul-betul tidak sangka kalau kakaknya mengetahui perihal undangan seorang kawan untuk pergi ke Yogyakarta.
"Maaf waktu itu Mas nggak sengaja dengar," ucap Rendra, mencoba memberi penjelasan.
Pada dua hari yang lalu, Rendra yang hendak rehat sejenak di belakang Pelataran Langit, tidak sengaja mendapati Pras yang tengah berbincang dengan salah satu teman baiknya di telepon. Sekilas dari yang Rendra dengar, Pras telah mendapat undangan acara peluncuran coffee roastery milik temannya itu di Kota Gudeg. Namun, mendengar betapa ragunya nada Pras ketika bicara kala itu, membuat Rendra kembali disusupi rasa sedih yang bercampur rasa bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Cloudy Place In Your Heart (FIN)
RomanceBagi Sandhyakala Dewi Kusuma (Sandhya), kehidupannya selama hampir tiga tahun belakangan sebagai seorang pengelana digital, alias digital nomad, bagaikan awan-awan yang berkelana tanpa tahu arah. Hampir tidak ada kata "menetap" dalam kamus hidup San...