43. Tentang Saat Ini (END)

2.1K 130 102
                                    

Rendra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rendra

Kala itu, sinaran surya telah membuat bayang-bayang deretan daun jendela tampak memanjang di lantai selasar galeri. Tanda hari hampir sore. Saya kembali melirik ruang pameran yang masih agak ramai dengan pengunjung. Beberapa dari mereka masih tampak sibuk mengambil foto bersama atau berbincang dengan beberapa gerombolan kawannya.

Serupa awan, seperti yang sudah ditentukan oleh pihak penyelenggara acara, semua orang tampak mengenakan pakaian yang senada warnanya—putih gading atau putih. Sekali lagi, masih selalu terasa menggelitik setiap kali saya mendapati buku-buku bersampul putih dengan nuansa biru pupus yang lembut itu tergenggam di tangan-tangan mereka. Bahagia rasanya ketika saya membayangkan mereka pulang dengan senyuman dan karya saya yang kesekian itu akan jadi bagian di rak-rak mereka, menempati rumah barunya.

"Saya masih boleh minta tanda tangannya nggak, Mas Author?"

Suara itu tiba-tiba mengaburkan konsentrasi saya dari gerombolan pembaca yang barusan masih sempat meminta berfoto bersama sebentar. Setelah berbalik, seperti biasa, saya mendapati senyum kekanakkan itu dari wajah ayumu, Sandhya.

"Udah datangnya lima menit sebelum booktalk selesai, tetiba sekarang minta tanda tangan lagi," sindir saya seraya melipat lengan di depan dada.

Tawa cengengesan itu masih sempat terlontar dari bibir mungilmu yang serona delima. "Jadi, tadi kamu lihat saya di sana?" ujarmu dengan semangat, seraya menunjuk deretan bangku-bangku yang tadi digunakan untuk para peserta booktalk di depan kami.

"Ck, ya lihat, lah. Masuknya dari sebelah mini stage pula, terus langsung dapat duduk di depan lagi. Stafnya tadi nganterin kamu dari sebelah mana, ya? Heran," gerutu saya, yang justru malah membuat tawa menggemaskanmu itu kian lebar.

"Hebat, 'kan? Privilege istrinya Mas Author gitu, loh."

Bukannya menyesal, dirimu malah makin menimpali dengan guyonan.

"Karepmu."

Saya menukas seadanya dengan raut malas yang dibuat-buat, memutar bola mata.

"Idih, Mas Ren ngambek, nih," ujarmu, memanggil saya dengan pet name yang semenjak menikah selalu kamu gunakan itu.

"Kan, saya udah diwakilin sama Mas Fajar dan Ibu, Mas. Saya tadi beneran masih sibuk bantuin Surya buat persiapan launch kafenya nanti malam. Kamu ingat, 'kan? Mana tadi dia sama temannya lagi ribet banget, listrik di kafe sempat ada trouble."

Jemarimu lalu tampak menjawili lengan ivory loose shirt saya yang digulung sampai siku. "Mas Pengarang jangan marah, dong. Gantengnya hilang nanti, lho," rengekmu lucu, sempat-sempatnya merayu.

"Ya ampun. Kalau lagi ngambek gini, kamu makin mirip sama kucingmu, deh. Udah paling cocok sama nama penanya."

Sekarang dirimu malah menggoda saya, membuat saya tidak tahan untuk menahan tawa. Jemari saya lalu hanya mengucak asal puncak kepalamu hingga helai-helai rambutnya jadi berantakan. Sebelah pipimu yang merona itu lalu tak tahan lagi saya cubit gemas hingga dirimu mengaduh.

A Cloudy Place In Your Heart (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang