Rendra
Jemari lembut yang terasa sejuk itu masih terus membelai kepala seiring dengan desau nyanyian angin, layaknya kidung pengantar tidur. Sepertinya, saya tidak begitu ingat telah berapa lama terbaring nyaman di sini, merebahkan kepala di atas pangkuan hangat yang begitu saya rindukan.
"Abi."
Saya masih hafal suara bening yang selalu memanggil diri ini dengan nama kecil itu. Saya masih menyimpannya dalam memori, dan selamanya tak ingin melupa.
Ibu.
Tiada suara yang terlontar dari bibir, hanya ada hati yang terus menggumamkan panggilan yang telah terasa begitu asing selepas ratusan purnama. Ibu, saking rindunya raga ini padamu, kata-kata bahkan tidak ada yang sanggup melukiskannya. Untuk kali ini, selagi masih bisa, saya hanya ingin terus di sini mengadu dan bermanja di pelukan Ibu yang paling hangat.
"Abi, Ibu minta maaf."
Tiba-tiba kalimat itu terdengar. Kening saya berkerut, tidak paham perihal kata maaf yang diungkap Ibu. Kepala saya masih geming di pangkuannya, menatap dalam sendu wajah ibu yang seketika dihiasi kesedihan. Ibu lalu menunduk dan bersamaan dengan itu, air mata terlihat menuruni pipinya yang kuning langsat bersih.
Seperti di hari lampau, Ibu kemudian mengecup kening saya, lama serta penuh kasih. Dan ketika hangat air mata itu ikut menyentuh pipi saya, sesuatu serasa kembali menarik saya pada sebuah kesadaran. Dingin yang sepi kembali memeluk batin ini.
Indra aural saya adalah yang paling pertama terjaga. Suara desis halus dari benda yang sudah sangat saya hafal itu, adalah yang terlebih dulu saya dengar. Deru hujan di luar sana ikut menemani. Udara yang bersihnya terasa sintetik, mengalir ke dalam rongga hidung. Butuh beberapa saat untuk mengumpulkan serpihan cahaya yang memasuki mata, hingga akhirnya saya bisa melihat wajah ayu yang tertidur tenang di sisi lengan. Kamu nyatanya masih di sini.
Sandhya.
Saya hanya sanggup menggumamkan namamu dalam hati. Sekujur tubuh ini masih merasa terlalu lelah. Bahkan hanya untuk bicara satu kata saja, saya kesulitan. Pelan-pelan saya menggeliat dari balik selimut tebal, mencoba beringsut dari rebah. Namun sayang, tubuh ini malah kembali lunglai seperti tanpa tulang, hanya sanggup setengah berbaring lemas, bersandar pada tumpukan bantal. Saya menoleh sejenak ke arah jendela kecil yang menghadap arah timur paviliun. Air langit telah tampak membasahi ruang-ruang transparannya. Langit telah tampak hitam di luar sana. Sudah malam.
Hujan deras rupanya kembali menjadi musik latar yang bernyanyi dalam ruang temu yang saya bagi denganmu, Sandhya. Saya lalu memandangi wajah ayumu yang sebagian masih tertutup oleh lengan. Melihat dirimu yang memilih bertahan di sini, sudah lebih dari cukup untuk membuat lengkung di bibir tergaris. Namun sayang, ia pun kemudian pudar dengan cepat.
Kamu akhirnya harus melihat Rendra yang seperti ini, Sandhya.
Saya membatin penuh penyesalan karena akhirnya sudah tidak mampu lagi menutupi kesengsaraan diri. Saya masih ingat ketika beberapa saat sebelumnya kamu menopang tubuh yang sudah hampir rubuh ini. Suaramu yang awalnya masih terdengar agak cemas memanggil nama saya, hingga membuat keinginan untuk tetap sadar semakin kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Cloudy Place In Your Heart (FIN)
RomansaBagi Sandhyakala Dewi Kusuma (Sandhya), kehidupannya selama hampir tiga tahun belakangan sebagai seorang pengelana digital, alias digital nomad, bagaikan awan-awan yang berkelana tanpa tahu arah. Hampir tidak ada kata "menetap" dalam kamus hidup San...