Waktu-waktu itu berlalu, seperti kilasan potongan lakon kehidupan. Kemarau perlahan menjauh. Sementara, penghujan mulai tiba di muka pintu pergantian musim.
Pagi itu, Pras mendapati rumput dan tanaman-tanaman berbunga di sekitaran Paviliun Senja tampak segar selepas diguyur hujan dini hari. Namun sayang, sang penghuni paviliun justru sama sekali tak tampak sesegar suasana pagi di sekelilingnya. Ia justru terlihat seperti tanaman layu di hadapan Pras.
"Mas Rendra?" sapa Pras pelan.
Yang disapa kemudian menjawab dengan tidak jelas. Hanya ada suara gumaman halus yang keluar dari bibir pucatnya. Rendra meringkuk lemas dalam selimut.
Pras berlutut di sebelah pembaringan seraya mengamati ekspresi yang tergambar pada wajah pias Rendra. Kakaknya itu berkali-kali tampak sangat lelah ketika mengambil napas.
"Punggung sama dadanya masih sakit, ya, Mas? Masih terlalu sesak? Mau ditambah lagi bantalnya?"
Berondongan pertanyaan Pras menyerbu saat melihat Rendra harus terbatuk berkali-kali. Jemari Pras kemudian mengelus pelan punggung Rendra.
Rendra lalu hanya menjawab dengan gelengan tipis. Kernyitan halus tercetak di antara sepasang alis matanya. Rendra paham kalau Pras hanya tengah berusaha membuatnya nyaman. Namun entah mengapa, tidak ada hal yang rasanya benar-benar mampu membuat rasa sakitnya lipur saat itu juga. Sehingga, Rendra memilih diam.
Pras sejenak memutus atensinya dari wajah Rendra. Sebuah benda kecil yang menjepit telunjuk sang kakak tampak berkedip. Angka yang tertera pada indikator pulse oksimetri segera saja membuat Pras tak kuasa menahan perih di batin. 89 persen, yang Pras tahu nilai saturasi oksigen Rendra tidak pernah sampai serendah itu sebelumnya.
"Dipakai lagi saja, ya, Mas. Supaya enakan," ujar Pras seraya memasangkan lagi nasal kanul yang beberapa saat lalu sudah sempat dilepas dari hidung Rendra.
Pria dengan lesung pipi itu tidak menolak. Tidak pula ia bicara satu kata pun, hanya diam menikmati setiap iris nyeri di punggung dan sekujur badan. Tiap denyut perih di kepala dan rasa sempit di dada, kian membungkam mulut Rendra. Kini, perkara berbicara saja bisa membuatnya kelelahan.
Pras kian dibuat waspada. Lelaki pencinta kopi itu lalu segera beranjak memeriksa hal lain. Dan benar saja. Saat ia menyingkap selimut dan memeriksa bagian tungkai sang kakak, Pras mendapati kaki, pergelangan, sampai betis Rendra, ukurannya sudah membesar secara tidak normal.
Pras kini tahu mengapa rasa sesak serta batuknya Rendra malah semakin parah semenjak semalam. Dan, Pras betul-betul tidak sadar ataupun kepikiran sebelumnya. Edema, gejala bengkak karena penumpukan cairan itu, ternyata adalah penyebab utamanya.
"Mas Rendra, nanti minum air putihnya dikurangi, ya? Sementara ini sabar dulu, harus diet rendah garam lagi." Sembari meninggikan posisi tungkai Rendra dengan bantuan bantal, Pras secara halus berpesan.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Cloudy Place In Your Heart (FIN)
RomansaBagi Sandhyakala Dewi Kusuma (Sandhya), kehidupannya selama hampir tiga tahun belakangan sebagai seorang pengelana digital, alias digital nomad, bagaikan awan-awan yang berkelana tanpa tahu arah. Hampir tidak ada kata "menetap" dalam kamus hidup San...