"Sinisnya dikurangi sedikit, Sandhya. Ibu bakal makin sedih kalau kamu masih juga keras begini."
Fajar sempat tampak geram dengan ucapannya yang penuh sindiran dan teguran. Ketika baru saja tiba di rumah, masih seperti waktu itu, Sandhya merasa begitu kesulitan jika harus mengatur gejolak emosi setiap kali melihat sosok Kalinda. Tiba di kediaman, yang menyambut Sandhya pertama kali justru adalah saudara angkatnya itu. Tidak ada pelukan hangat yang dibalas setimpal, Sandhya hanya mau menderma sentuhan dingin yang tanpa niat.
"Kamu pulang, Nduk."
Lagi-lagi hanya sapaan sederhana itu yang Sandhya dengar dari sang Ibu ketika ia menjumpainya di kamar tidur. Terik mentari siang hampir tiba tatkala hangat peluk sang ibunda akhirnya kembali menjamah raga. Masih seperti yang sudah-sudah, Asti memang tidak begitu pandai bicara. Meski begitu, semua kata sayang dan rindunya selalu bisa terangkum dari bahasa sentuhan dan gerak laku.
Untuk berapa lama lagi, Sandhya tak tahu kapan ingin beranjak dari merebahkan kepala di pangkuan Ibu. Ia pun tak tahu kapan ingin berhenti memejam karena elusan sayang yang terasa seperti kidung pengantar tidur paling damai.
Asti melengkungkan senyum. Hatinya terasa mengembang dan hangat. Kali terakhir ia melihat putri cantiknya semanja itu, mungkin ketika usia Sandhya masih sebelia kuntum bunga anyelir yang baru hendak merekah. Ketika persoalan paling pelik di hidupnya mungkin hanya sebatas kecewa karena nilai ujian matematika yang tercetak dengan tinta merah.
"Ibu minta maaf, Sandhya."
Saat suara penuh kasih itu menyebut kata maaf dengan begitu tulus, Sandhya perlahan membuka mata. Kepalanya masih rebah menyamping di pangkuan ibu. Tepian ranjang kayu jati tua itu pun, kian dipenuhi kehangatan dua insan yang masih saling mencoba melepas rindu.
"Ibu nggak salah," balas Sandhya sederhana. "Aku yang salah."
Sepasang matanya menatap lurus pada helai-helai vitrase yang melembutkan jatuhan sinar surya yang menembus kaca jendela kamar. Tak lama, elusan jemari ibu mendarat lagi di pelipisnya, membuat Sandhya kembali tak kuasa menahan pejaman mata.
"Enggak, Sandhya. Memang betul, Ibu yang selama ini salah. Ibu minta maaf," sanggah Asti.
Sandhya betul-betul tidak ingin menyela, dengan saksama memasang telinga. Ia belum paham cerita di balik permintaan maaf yang terdengar penuh penyesalan itu.
"Ibu sebenarnya malu sekali mengakui ini, tapi ...," hela napas Asti terdengar menyela, "kami berdua memang orang tua yang dari awal sudah berbuat salah. Sampai akhirnya semua jadi seperti ini. Kami minta maaf."
Sunyi mendera sesaat sebelum akhirnya Sandhya berucap, "Maksud Ibu?"
"Dulu, Ibu adalah istri yang kesulitan untuk belajar mencintai suaminya sendiri," kata Asti sendu. "Dan setelah semuanya, ayahmu adalah orang yang paling banyak mengasihi keluarga ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Cloudy Place In Your Heart (FIN)
RomansaBagi Sandhyakala Dewi Kusuma (Sandhya), kehidupannya selama hampir tiga tahun belakangan sebagai seorang pengelana digital, alias digital nomad, bagaikan awan-awan yang berkelana tanpa tahu arah. Hampir tidak ada kata "menetap" dalam kamus hidup San...