Pras menatap kosong jajaran kanvas dalam sebuah sudut kabinet penyimpanan. Pagi masih lumayan dini dan ia memilih menggunakan waktu yang ada sebelum masuk jam kerja untuk membereskan beberapa hal di kamarnya.
"Jangan pernah libatkan Rendra dengan semua ini."
"Saya akan membereskan semuanya sebentar lagi."
Semua masih terasa segar dalam memori. Pras akan selalu mengingat kalimat-kalimat itu setiap kali menatap tiga buah lukisan yang kini telah ia singkap dari kain penutupnya—lukisan yang membuat gambaran rupa-rupa serta tubuh-tubuh yang hampir semuanya sama. Dan lalu, kelebatan adegan kelam di masa silam segera menjamah benak, membuat Pras selalu risi jika mengingatnya.
Lima tahun berlalu semenjak dirinya dan Rendra memutuskan untuk tinggal di rumah yang kini mereka sebut Pelataran Langit. Di hari kedua selepas mereka tiba di sana, Pras adalah yang pertama menemukan tiga lukisan itu di salah satu kamar yang ada lantai bawah saat sedang bagi tugas berbenah. Tertutup rapi dan tersembunyi di sudut lemari usang, karya-karya itu seolah memang tidak ingin ditemukan.
"Apa salah kalau saya mencoba membalas perbuatannya?"
Pras mengingat lagi sebuah pertanyaan dari seorang pemilik hati—yang pernah begitu terluka—terlontar untuknya. Kala itu, Pras yang masih remaja, tidak paham harus membalas apa. Ia hanya mampu tertunduk seraya mendengar pengakuan-pengakuan pahit yang pernah dibuat oleh orang itu di hadapannya.
Rasa getir berkumpul di dada saat memori Pras telah kembali dari awang-awang. Lima tahun berlalu dan semenjak lukisan itu ditemukan, ia tidak pernah bisa membuangnya atau menghancurkannya begitu saja—seolah Pras takut dikutuk atau kena sial karenanya. Alhasil, selama ini lelaki itu hanya menyembunyikan mereka di tempat paling aman dalam kamar pribadi, tanpa pernah Rendra tahu.
"Pras."
Suara kakaknya dan ketukan pintu adalah alarm waspada yang seketika menyala untuk Pras. Sang pria pencinta kopi tergesa menutup kembali kanvas-kanvas berisi jejak warna usang dari masa lalu itu dengan kain penutup—segera memasukkannya kembali dalam penyimpanan. Sahutan kecil dari mulut Pras lalu menjawab panggilan Rendra yang masih terdengar samar di luar pintu kamar.
"Ayo, sarapan."
Begitulah sapaan pagi dari Rendra yang Pras dapati selepas bergegas membuka daun pintu kamar. Pras sekejap terdiam. Saat ia melihat kehadiran sang kakak dan menatap sepasang netra dengan sorot tenang itu, kilasan pagi-pagi yang selalu Pras syukuri, melintas kembali dalam benak.
Tanpa aba-aba, Pras kembali dibuat terenyuh dengan bagaimana di satu pagi lagi, ia masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk melihat kembali wajah sang kakak menyapanya. Mungkin bagi orang lain yang tidak paham, hal itu akan terasa sangat berlebihan. Namun bagi Pras, 'bangga' adalah kata yang paling tepat menggambarkan segalanya saat melihat Rendra yang setiap hari selalu berusaha hadir di dekatnya meski mungkin untuk bangun dari tempat tidur sudah terasa begitu sulit baginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Cloudy Place In Your Heart (FIN)
RomanceBagi Sandhyakala Dewi Kusuma (Sandhya), kehidupannya selama hampir tiga tahun belakangan sebagai seorang pengelana digital, alias digital nomad, bagaikan awan-awan yang berkelana tanpa tahu arah. Hampir tidak ada kata "menetap" dalam kamus hidup San...