Selamat membaca.
-:-:-
Jemari Pras masih sibuk menggoreskan pena tinta hitamnya pada lembar-lembar buku catatan khusus. Halaman-halaman di sana terbagi dalam kolom-kolom dan baris yang terusun rapi. Catatan kondisi harian; nama obat-obatan; deretan nomor-nomor darurat; contoh kasus tertentu yang sekiranya gawat darurat; ataupun berbagai perbandingan keadaaan normal dengan abnormal, semua tertulis manual dengan huruf-huruf bersambung miring.
Di pagi yang masih agak dini itu, Pras sebetulnya hanya tengah memanfaatkan waktu kosongnya untuk merinci catatan kondisi harian Rendra dalam logbook. Kemarin malam ia tidak sempat menulisnya karena sibuk menunggui Rendra yang masih demam dan sulit tertidur. Setahun sudah Pras kerap menjadikan menulis logbook sebagai sebuah kebiasaan. Grup dukungan bagi para caregiver yang ia ikuti di sebuah aplikasi perpesanan, yang telah menyarankannya untuk membuat logbook pribadi pasien.
Bukan maksud untuk bersikap terlalu protektif, tetapi Pras hanya berjaga-jaga jika suatu saat catatan-catatan itu diperlukan pada keadaan darurat. Pras berpikir panjang, jika suatu saat nanti ada kondisi khusus yang memungkinkan dirinya tidak berada di tempat bersama sang kakak, setidaknya logbook itu akan berguna bagi siapa pun yang ada bersama Rendra kala itu.
Bunyi-bunyian samar yang ia dengar dari lantai bawah Pelataran Langit, segera saja memecah konsentrasi Pras. Buru-buru ditaruhnya buku dan pena itu di tempat yang tersembunyi dan aman. Setelahnya, Pras bergegas keluar kamar.
"Astaga!"
Pras seketika dibuat terkejut saat turun dari tangga lantai dua Pelataran langit dan menemukan Bintang yang tengah menyeduh kopi di dekat Roasting Room. Gadis berparas manis dengan kacamata bermodel bulat itu kemudian hanya cengar-cengir tidak jelas.
"Halo, Mas Pras," sapa Bintang ringan.
"Hari ini kan masih libur harpitnas, Tang. Kamu lupa, ya?" todong Pras begitu saja tanpa menanggapi sapaan Bintang.
"Itu kerjaan masih banyak, Mas. Belum roasting buat stok beans besok, belum cupping, belum lagi packing buat kiriman kopi," rinci Bintang, terdengar seperti laju kereta yang gerbongnya panjang sekali.
Pras sontak menukikkan alis selepas mendengar tanggapan Bintang barusan. "Kamu nggak lagi mau minta naik gaji, 'kan?"
"Issh, astaga. Nethink aja nih, Mas Pras," sanggah Bintang. Pras kemudian hanya terkikik geli mendengarnya.
"Ya terus ngapain? Dikasih jatah libur cuma-cuma harusnya kamu manfaatin tidur di rumah. Santai-santai."
"Aku bosan di rumah. Makanya aku ke sini. Ya terus ternyata kebetulan, kan, banyak kerjaan yang belum selesai."
Ocehan Bintang tidak sepenuhnya salah. Pras kemudian tidak menanggapi apa pun. Ia hanya menatap jemari Bintang yang dengan luwes terus menuangkan air panas dalam 4 babak selama kurang lebih dua menit dua puluh detik ke corong v60 dripper.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Cloudy Place In Your Heart (FIN)
RomanceBagi Sandhyakala Dewi Kusuma (Sandhya), kehidupannya selama hampir tiga tahun belakangan sebagai seorang pengelana digital, alias digital nomad, bagaikan awan-awan yang berkelana tanpa tahu arah. Hampir tidak ada kata "menetap" dalam kamus hidup San...