10. Merasakan

840 116 53
                                    

Abiyasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Abiyasa. Sandhya tak kuasa untuk menahan senyum tatkala ia mengingat nama itu pernah terbaca olehnya pada lembar persetujuan kontrak kerja yang sudah ditandatangani. Abiyasa, Sandhya merasa jika nama depan lelaki yang selalu ia sapa dengan panggilan 'Mas Rendra' itu, terdengar teduh dan lekat dengan aroma kesunyian.

Ah, ya, tinggal di tanah yang katanya adalah bumi peristirahatan para dewa-dewi berserta semua ketenangan di sini, Rendra memang serupa Abiyasa sang pertapa yang penyendiri—tetua dari generasi Pandawa. Sandhya masih ingat kisah yang pernah diceritakan almarhum ayahnya, kesunyian sangatlah lekat dengan tokoh pewayangan yang satu itu. Ia meninggalkan gemerlap Astina hanya untuk mengikuti jejak Palasara—ayahnya—yang telah moksa ke Suralaya. Abiyasa, Sandhya rasa itu bukan hanya perlambangan raga yang telah menyepi, tetapi juga tentang hati yang telah kembali pada sebuah hakikat ketenangan—lepas dari segala keakuan.

Hatimu apa juga sesunyi itu?

Sandhya mendengkus tawa konyol ketika ia menanyakan hal itu pada batinnya sendiri. Sadar atau tidak, berbagai ekspresi yang ia lihat dari pria itu semenjak beberapa hari lalu, memang telah membawa banyak spekulasi bagi pikiran. Pertanyaan tentang hati, dan tentang segala yang intim mengenai pria—dengan tatap teduh di manik matanya itu—serupa tamu tak diundang yang bergantian mengetuk pintu-pintu penasaran di batin Sandhya.

Sudah beberapa hari berlalu semenjak perkenalan pertama mereka, entah pagi sebelum bekerja di kafe atau sore menjelang senja, Sandhya secara spontan akan meluangkan sejenak menit-menitnya bergulir tanpa syarat—memperhatikan Rendra pada waktu-waktu itu. Masih dengan kanvas dan alat-alat lukisnya, dan masih dengan posisinya yang membelakangi dinding-dinding kaca Paviliun Senja, Sandhya akan menatap lelaki itu melukis awan-awan lagi. Perasaan tenang selalu hadir setiap kali Sandhya melihat goresan penuh rasa itu menebar warna. Ketika Sandhya melihat Rendra membuka kanvasnya, terasa seperti seolah ia tengah membuka jiwanya.

Tidak hanya sosok Rendra yang selama beberapa hari ini akan tampak di Paviliun Langit, tetapi Pelataran Langit juga akhirnya menjadi tempat di mana Sandhya akan dipertemukan dengan lelaki itu. Setiap lepas sore dan menjelang senja, Rendra akan terlihat lebih dulu tiba di Pelataran Langit, ia selalu memilih duduk di meja yang waktu itu mereka duduki. Letaknya bersebelahan dengan jendela yang mengarah tepat ke taman depan.

"Eh, Mbak Sandhya."

Di siang yang lain, Sandhya memutuskan untuk mampir lagi ke Pelataran Langit. Pras yang kala itu tampak duduk di depan meja bar, segera saja menyapa Sandhya lebih dulu. Senyum riangnya menyambut seperti biasa.

Akan tetapi, di dekatnya kini ada pemandangan yang berbeda. Rendra tidak tampak duduk di meja kesukaannya. Ia duduk di depan meja bar, tepat di sebelah Pras. Melihat posisi laptop yang diletakkan tepat di depan keduanya, tampaknya kakak-adik itu tadi tengah berdiskusi bersama.

"Hei, Mas Pras," balas Sandhya seraya mendekat.

"Mari silakan duduk, Mbak," tawar Pras ramah seperti biasa.

A Cloudy Place In Your Heart (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang