17. Tentang Permintaan

723 102 40
                                    

Rendra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rendra

"Mungkin nanti kita bisa ke sana lagi sama-sama, lihat golden sunrise."

"Dan nanti, kita bisa sama-sama lihat lautan awan yang Mas Rendra suka."

Senyuman getir kembali terpulas di bibir ketika saya mengingat lagi menit-menit yang saya habiskan bersamamu di beberapa malam lalu. Bincang kita kala itu terasa kian panjang, meski beberapa di antaranya sempat membuat batin ini mengingat hal-hal nelangsa di hidup saya. Saya tahu kamu tidak bermaksud seperti itu, Sandhya. Kamu hanya tidak tahu dan saya sangat mewajarkannya.

Kalimatmu kadang terdengar seperti sebuah pengharapan yang mustahil. Meski begitu, saya hanya kembali menganggap itu sebagai doa paling tulus dari seorang perempuan lugu. Sanubari saya hanya mencoba mengaminkan meski masih tersisa ragu.

"Mas Rendra suka awan, 'kan? Karena saya sering lihat Mas Rendra melukis awan di sana."

Jadi kamu sering melihat saya melukis? Sudah sesering apa kamu memperhatikan saya? Apa ketika kamu melihat awan, itu artinya kamu mengingat saya?

Sesuatu yang berdetak di dada, kini mulai terasa lepas kendali saat saya memikirkan pengakuanmu yang begitu jujur. Semacam debaran yang tidak bisa diajak kompromi belakangan ini. Ada perasaan indah yang tak mampu saya jelaskan ketika waktu itu menangkap isyarat manis dari kalimatmu. Apa artinya dirimu telah mengingat satu hal kecil tentang saya, Sandhya? Jujur saya tidak berani berharap banyak.

Hari ini kita akan bicara apa saja?

Seraya mata masih memandangi bangunan paviliun di seberang, batin ini kembali berbisik spontan. Tanpa tabung oksigen, tanpa slang di hidung, perlahan saya menghirup lagi udara dataran tinggi yang selalu terasa sangat tipis di paru-paru yang sudah abnormal ini. Sesekali, saya pejamkan mata. Dan akhirnya, di antara renungan pagi yang kembali hadir dalam sunyi, wajahmu terbayang di sana, Sandhyakala.

Saya harap percakapan kita di hari ini akan jadi lebih panjang daripada malam itu.

Senyuman sempat mengembang di bibir, tetapi dengan cepat pula terasa pudar. Belum sampai saya diizinkan berlama-lama memandangi paviliun hangatmu di tengah lambaian kabut, dingin udara pagi dan angin yang beku sudah lebih dulu mengusik rongga dada ini. Seakan syal yang melingkar di leher dan pakaian hangat yang melekat, tak cukup untuk membuat tubuh bertahan barang sebentar lagi.

Batuk yang spontan muncul dan tarikan napas yang terasa agak berat segera mengaburkan keinginan saya untuk tetap tinggal di teras. Nyeri samar di rongga dada, layaknya pengingat jika saya seharusnya tidak berharap muluk-muluk untuk lebih jauh memasuki duniamu. Laki-laki seperti saya ini seharusnya lebih sadar posisi, bukan?

-:-:-

"Mas Rendra, ingat ya jangan sampai—"

"Iya, Pras. Mas paham. Sudah berapa juta kali kamu selalu ngomong hal yang sama. Mas juga belum pikun, kok," potong saya saat Pras hendak membeberkan kembali ceramah wajib yang sudah saya hafal di luar kepala.

A Cloudy Place In Your Heart (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang