16. Yang Pernah Kosong

699 105 83
                                    

Hey, sorry for taking so long

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hey, sorry for taking so long. akhirnya baru sempat up lagi. Selamat membaca :)

-:-:-

Atas-bawah, jemari Sandhya bolak-balik tampak menggulung layar gawai. Pemberitahuan tampak memenuhi halaman muka dan status bar di kiri atas layar. Pagi masih lumayan dini, tetapi jagat maya memang tidak pernah sepi. Begitulah sepenggal kehidupan manusia modern yang tidak pernah jauh-jauh dari dibudaki gawai dan media sosial.

Sandhya menatap datar serangkai garis waktu pada salah satu akun media sosial berbagi fotonya. Semua merangkum momen-momen yang telah ia lewati semenjak beberapa tahun belakangan. Ia pun menatap lagi wajah dirinya dan wajah-wajah orang-orang yang pernah berbagi semua momen itu dengannya. Tempat-tempat yang pernah ia kunjungi terekam dalam banyak sisi. Segalanya pernah mengundang banyak komentar dan apresiasi 'tanda hati'.

Kalau dipikir lagi, buat apa semua ini?

Senandika Sandhya mencuat dalam suasana santai yang aneh. Ia pun berpikir jika semua yang pernah dibagikannya dengan penuh rasa bangga itu hanyalah sebatas persona. Secara impulsif, Sandhya tiba-tiba memutuskan untuk mengarsipkan hampir semua jejak ataupun foto-foto yang pernah ia bagikan.

Nggak akan ada lagi Sandhya yang bakal bikin orang-orang jadi FOMO seketika.

Entah mengapa, perasaan lega memenuhi batin Sandhya ketika opsi tanda keluar ia tekan dan pada akhirnya semua yang melibatkan momen-momen pribadinya tertutup. Terserah orang mau bilang apa. Untuk saat ini, yang terpenting Sandhya benar-benar hanya ingin jadi manusia yang hidup di momen paling nyata, menikmati kemewahan akan dirinya yang tengah sembunyi seorang diri.

Satu senyuman perlahan terpulas hangat pada garis bibir Sandhya. Satu bagian penting dari tempat yang kini ia singgahi, kembali membuat hati perempuan itu dipenuhi bungah. Sudah bukan hal yang asing lagi bagi Sandhya, ketika waktu-waktu tertentu ia akan melihat Rendra duduk di teras mungil Paviliun Senja, menikmati sesuatu yang selalu jadi bagian dari kanvas-kanvasnya—awan.

Satu tempat di samping pria itu pun, kini hampir tak pernah lagi kosong. Sandhya sejenak akan menemaninya, bertukar kata. Kalau beruntung, perempuan itu akan mendengar bagaimana Rendra mengenalkannya pada banyak nama ajaib dari kapas-kapas putih yang selalu jadi bagian lukisan-lukisannya. Jemari Rendra sesekali akan menunjuk ke arah langit, lalu dongeng singkat tentang awan pun dimulai.

"Kamu lihat yang itu, yang bentuknya seperti selendang tipis membentang di langit biru. Awan yang itu namanya stratus."

"Ah, sudah muncul. Hari ini sepertinya kita beruntung bisa ketemu mereka, jarang-jarang mereka muncul di sini. Yang itu namanya altocumulus. Kalau kamu perhatikan, bentuknya seperti kapas-kapas pipih yang berbaris rapi. Tidak menyatu, selalu terlihat ada celah-celah di antaranya."

Sandhya pernah mengenal pria-pria yang selalu mengingat tentang seberapa jauh dan seberapa cepat lagi kita perlu berlari untuk menemui semua pencapaian. Tapi rasanya, baru kali ini Sandhya menemui pria yang mengatakan, hal-hal indah seringnya akan tampak dan terasa ketika kita sejenak melambatkan langkah. Ya, dan Rendra adalah pria itu—pria yang mengajarkannya sebuah jeda singkat dan renungan dari hal-hal kecil di sekitar mereka.

A Cloudy Place In Your Heart (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang