Kalau sedari berhari-hari lalu Sandhya hanya bisa melihat ruang depan Paviliun Senja dari seberang paviliunnya saja, kini ia benar-benar bisa memasuki ruang penuh aura pria bernama Rendra itu secara nyata. Polos dan tenang. Ruang dengan tembok-tembok putih gading yang rapi dan sangat minim perabot itu, memang serupa "detail-detail" dari seorang Rendra—serupa awan-awan putih yang selalu dilukisnya, serupa kucing kesayangannya, atapun serupa baju-bajunya yang kerap berwarna putih.
Rendra mendekat pelan ke belakang punggung Sandhya. Senyum tenang terpulas seraya kedua netranya masih memperhatikan gerak-gerik perempuan itu. Kala itu, Sandhya tengah menghadap salah satu sudut ruang depan yang dipenuhi lusinan kanvas berbagai ukuran, menemukan repih-repih dunia kecil Rendra di sana.
Menatap lukisan, tiba-tiba membuat Sandhya teringat dengan Tante Laksmi, adik dari ibunya yang seorang kurator seni. Sandhya pun bertanya-tanya sendiri, apa lukisan-lukisan sebagus ini sudah pernah dikurasi dan masuk galeri seni sebelumnya?
Mata perempuan itu masih tampak memperhatikan tulisan-tulisan kecil yang selalu tersemat pada sudut kiri bawah kanvas-kanvas. Troposfer No. 8, Troposfer No. 9, Troposfer No. 10, dan seterusnya, ternyata itu adalah judul-judul sederhana yang selalu diberikan Rendra untuk setiap karyanya—judul yang tepat sasaran. Nyatanya, Troposfer memanglah lapisan paling bawah atmosfer di mana fenomena awan-awan dan hujan tercipta.
Awan di langit pagi yang cerah; awan sebelum hujan yang kelabu; awan di batas cakrawala yang tipis; awan serupa goresan cat yang dibuat pesawat; awan di langit senja, dan masih banyak lagi awan-awan lain yang dilukis lelaki itu. Terkesan khayali, tetapi sekaligus terasa tak kalah nyata. Seperti tengah duduk di sebelah lengkung jendela pesawat, Sandhya tahu dirinya adalah yang begitu dekat terbang bersama awan-awan meski tak mampu menyentuhnya.
"Kenapa harus awan?" tanya Sandhya pelan saat Rendra sudah ikut berdiri di sampingnya.
Setiap jejak goresan warna yang tampak luwes di atas kanvas-kanvas, membuat Sandhya melihat betapa rekan kerja barunya itu adalah yang piawai menari dengan emosi. Kebebasan tercermin di sana.
"Karena saya seperti melihat refleksi diri saya," jawab Rendra akhirnya.
Terdengar sederhana, tetapi justru kalimat itu segera saja tersangkut di batin Sandhya. Ingatannya melayang pada hari di mana ia melihat Rendra melukis untuk pertama kalinya. Sekali lagi, ia pun mengaku jika memang telah merasakan emosi yang selagu, terikat melodrama yang menguar dari lukisan pria itu.
Sorot mata Rendra melembut kala mendapati gerak tatapan Sandhya terlihat menelusur pelan semua goresan-goresan warna di atas kanvas-kanvas. Perempan itu layaknya tengah meraba sesuatu yang rapuh.
"Tapi kadang tidak sedramatis itu juga. Pada dasarnya mereka itu hanya pelampiasan emosi saya saja, Sandhya," lanjut Rendra selepas dirasa cukup lama mereka terdiam.
Keduanya kemudian bertukar pandang, seolah tengah bicara tentang emosi lewat tatap. Dengan tenang, iris sewarna jelaga milik Rendra kembali memerangkap sorot Sandhya. Tatkala perempuan itu mendengar Rendra tiba-tiba sudah menyebut namanya tanpa embel-embel 'Mbak', seketika Sandhya tahu kalau mereka kini bukan hanya sekadar tetangga yang butuh bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Cloudy Place In Your Heart (FIN)
RomanceBagi Sandhyakala Dewi Kusuma (Sandhya), kehidupannya selama hampir tiga tahun belakangan sebagai seorang pengelana digital, alias digital nomad, bagaikan awan-awan yang berkelana tanpa tahu arah. Hampir tidak ada kata "menetap" dalam kamus hidup San...