21. Tentang Hadirmu

829 102 67
                                    

Rendra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rendra

"Aku minta maaf."

Pagi tadi sebelum saya sempat keluar dari paviliun, saya mendengar Pras mengatakan kalimat itu tanpa ragu. Setelah sekitar dua hari kami sama-sama bersikap dingin, Pras adalah yang akhirnya lebih dulu membuat langkah.

"Maaf, aku yang sudah terlalu sering melarang Mas Rendra."

Satu hal yang selalu saya kagumi dari Pras, di depan saya, ia selalu bisa jadi manusia yang blak-blakan. Pantang gengsi kalau memang ia merasa salah dan harus minta maaf. Pada akhirnya ketika hal itu terjadi, justru saya yang dibuat bingung dan tidak tahu harus membalas apa. Alhasil, saya hanya menawarinya dua tangkup french toast yang baru saja matang serta segelas susu almon hangat. Dan lalu, Pras malah memberi saya raut terbengong-bengong.

"Temani Mas sarapan, ya," pinta saya kala itu seraya menepuk pundaknya.

Barulah setelah itu saya melihat lagi senyumnya yang malu-malu. Dia mengangguk singkat, mengerti isyarat penerimaan maaf saya.

"Mas yang seharusnya minta maaf. Mas sudah kasar sama kamu."

Selang beberapa obrolan yang terasa canggung, saya pun akhirnya melontarkan maaf. Saya tak ingin mengelak kalau saya juga merasa bersalah dan sudah begitu keras pada Pras.

Di satu rehat sore yang lengang, saya kembali membuka kanvas, membuka relung-relung kosong tanpa rahasia di batin. Seni butuh kejujuran, begitulah yang saya ketahui. Meski yang saya kerjakan hanya sebatas kegemaran orang awam, tetapi setidaknnya saya mengimani apa yang pernah saya pelajari dari Ibu semenjak kanak-kanak.

"Abi, membuat karya itu bukan hanya tentang mengajak orang untuk 'melihat', tapi juga 'merasakan'."

Saya masih ingat, Ibu paling menyukai karya-karya Srihadi Soedarsono yang penuh ketenangan dan rasa. Pada sebuah pameran lukisan di salah satu galeri seni di Yogyakarta yang memuat karya Srihadi Soedarsono, Ibu mengatakan hal itu saat kami melihat "Bedaya Ketawang"[1]. Dengan erat, Ibu lalu menggenggam tangan saya, terasa penuh makna. Perlahan, saat saya mencoba meresapi kembali kalimat itu, "Bedaya Ketawang" seolah terlihat begitu hidup. Mereka, tiga gadis ayu yang terlukis di sana, menari dengan selendang-selendang merah dan kidung langit.

Apa yang sudah diungkap Ibu layaknya mantra ajaib yang diam-diam kian melekat dan kian matang dalam fragmen-fragmen ingatan saya. Saya selalu mengingatnya, hingga kini akhirnya saya sudah cukup dewasa untuk memahami dan memaknai hal itu.

Awan. Sore itu, saya ingin melukis mereka lagi dengan semua rasa hati yang akan menuntun jemari saya untuk menggores warna. Saya melihat kemurnian dalam awan seperti kemurnian yang sama pada rintik hujan di batas kemarau, pada tenangnya air danau, atau pada bayangan bunga-bunga bugenvil yang jatuh di aspal. Lembut, tanpa perlu berhasrat menjadi yang indah. Dan pada akhirnya, bicara tentang sesuatu yang murni akan selalu mengingatkan saya akan hal yang dulu dan kini selalu terasa dekat dengan kehidupan saya—kematian.

A Cloudy Place In Your Heart (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang