Satu ..., dua ..., tiga ..., empat ....
Rendra menghitung, memandang kosong butir-butir pil yang ia keluarkan dari tabung-tabung kecil transparan bertuliskan namanya. Satu per satu, ia kemudian menelannya dengan bantuan air. Beberapa akan menyisakan getir yang tidak menyenangkan di pangkal lidah. Meski begitu, ia sudah terbiasa.
Rendra lalu bersandar lemas pada punggung kursi kerja, melepas tegang di pundak. Cukup sudah ia menghakimi dirinya sendiri di depan dokumen yang terpajang di layar selama dua jam lebih. Selama itu, matanya hanya mengeja tiap baris kata, mencari-cari "dosa-dosa kecil" yang mungkin berserak dalam paragraf. Pria itu memijat ringan sebelah pelipis. Tak lama, eongan dan usapan sebentuk tubuh berbulu di kakinya, menarik atensi Rendra.
Rendra paham, kucingnya hanya minta dimanja sebentar. Sang tuan pun meladeni dengan usapan kepala yang penuh sayang. Si kecil berbulu putih itu lalu berputar girang di dekat kaki, membuat tawa ringan Rendra meluncur.
Tak lama, Rendra memutuskan untuk beranjak ke teras paviliun saat si Putih terlihat melenggang ke luar pintu kamar. Suntuk dan penatnya juga perlu diringankan sebentar dengan menghirup udara malam. Tepat ketika Rendra membuka pintu, sosok jelita berambut pendek di paviliun seberang sana juga baru saja terlihat melangkah keluar dari balik daun pintu. Sandhya.
Pandangan keduanya bersirobok. Sandhya—yang kala itu terlihat mengenakan piyama merah muda berlapis hoodie merah marunnya—sudah lebih dulu menderma senyuman. Rendra membalas tipis, membuat dekik manis di pipinya tercetak halus.
Si Kesayangan Rendra tanpa aba-aba sudah memelesat ke seberang, menghampiri Sandhya. Tawa gurih dari perempuan itu terdengar mengalun ketika si kucing sudah menggesekkan tubuh di kakinya. Kadang, Sandhya merasa peliharaan Rendra itu seperti punya dua kepribadian—kadang ketus, kadang juga sangat bersahabat.
Sudah kepalang terpancing, Sandhya kemudian terlihat memaku tatap lagi ke arah si pemilik kucing. Senyum ramahnya tersungging. Menjaga jarak, agaknya bukan pilihan yang kini bisa ia ambil. Lagipula halaman yang terbentang di depan mereka tidak terasa cukup luas untuk saling abai tanpa bincang.
Tatapan netra—yang tanpa maksud jelas itu—lalu kembali saling bertukar. Rendra sekilas mengelus tengkuk sebelum satu langkah dari tungkainya melewati teras. Namun ternyata, Sandhya sudah mendahuluinya dengan dua langkah. Keduanya sama-sama memapas jarak, berujung temu di tengah.
"Belum tidur, Mas?" sapa Sandhya. Lengannya masih tampak mendekap si kucing seraya mengusap bulu-bulunya yang lembut.
"Mata saya ngantuk, tapi pikiran saya masih sibuk," tanggap Rendra.
"Iku basa jawane overthink, ya?" canda Sandhya. Keduanya kemudian bertukar senyum sebelum akhirnya tertawa ringan.
"Mbak Sandhya sendiri?"
"Sama aja lah kayak Mas Rendra," jawab Sandhya enteng. Tanpa Persetujuan mereka kembali bertukar senyuman.
Si Anak Bulu spontan melepaskan diri dari gendongan Sandhya dan melompat. Teras mungil Paviliun Langit kemudian menjadi tempat santainya sambil menjilati bulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Cloudy Place In Your Heart (FIN)
RomanceBagi Sandhyakala Dewi Kusuma (Sandhya), kehidupannya selama hampir tiga tahun belakangan sebagai seorang pengelana digital, alias digital nomad, bagaikan awan-awan yang berkelana tanpa tahu arah. Hampir tidak ada kata "menetap" dalam kamus hidup San...