38. Sebisa Mungkin

855 94 37
                                    

-:-:-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-:-:-

"Abi, butuh sesuatu lagi?"

Agung, dengan suara kebapakannya yang tenang, kembali bertanya pada sang putra. Rendra yang tengah duduk membelakanginya itu, sekilas tampak menoleh seraya mendongak.

"Nggak ada, Yah. Makasih," tukas Rendra lunak.

Agung sekilas tersenyum. "Sekarang mau ke teras belakang, 'kan?" tanya Agung lagi, terdengar seperti sudah hafal dengan kebiasaan putranya itu. Rendra kemudian hanya mengiyakan singkat.

Langkah Agung masih mengayun santai melewati ruang keluarga. Suara guliran halus sepasang roda dari benda berangka metal yang tengah didorongnya itu, terus terdengar beriringan.

"Sebentar lagi, Ayah berangkat ke Semarang kota dulu, ya," ucap Agung selepas kursi roda yang membawa Rendra terhenti di teras belakang rumah mereka.

Pria paruh baya itu beranjak mengencangkan rem di kedua sisi roda, lalu berlutut di depan putranya. Mata dengan pandangan sejuknya kemudian menyamakan tinggi dengan tatapan Rendra.

"Hari ini hari terakhir pameran 'Kelana Pewayangan' di galeri. Ayah harus siap-siap untuk closing ceremony," sambung Agung.

Jemarinya sekilas mengusap lengan Rendra yang bertumpu pada armrest kursi roda. Si sulung yang kala itu terlihat mengenakan sweter rajut hitam dan celana panjang khaki, kemudian hanya mengangguk singkat.

Dan lalu, dua cangkir teh hangat buatan Agung akan menemani mereka di pagi sejuk yang masih menyisakan tetes embun serta lambaian kabut. Sebelum berangkat, sebisa mungkin Agung masih ingin menemani putranya sebentar lagi. Sudah semenjak Rendra kembali ke rumah masa kecilnya, ia dan sang ayah kini memang lebih sering menghabiskan waktu berdua, terutama untuk ngobrol santai seperti di pagi atau sore hari.

Ungaran, kota kecil di selatan Semarang yang dulunya merupakan salah satu sumbu pertahanan penting pada perang revolusi kemerdekaan itu, memang pernah menjadi rumah pertama bagi Rendra. Kini setelah ratusan purnama, tanpa disangka Rendra kembali lagi ke sana, tepatnya ke Ungaran Barat.

Udara sejuk, pemandangan hijau dan gunung Ungaran, kabut di pagi dan sore hari, ataupun cuaca mendung yang syahdu, masih kerap melingkupi wilayah itu—menjadikannya seperti sebuah tempat istirahat yang nyaman. Memang altitude-nya tidak setinggi wilayah Dieng, tetapi justru hal itu menjadikan suhu udara di Ungaran Barat terasa jauh lebih bersahabat untuk orang dengan kondisi tubuh sensitif seperti Rendra. Sejuk dan segar, tetapi tidak sampai dingin membeku.

"Kamarmu dan Pras masih yang dulu. Nggak banyak yang berubah, hanya selalu dirapikan saja."

Rendra masih ingat. Ketika ia baru sampai di rumah besar gaya etnik yang berhias ornamen batu serta pelbagai tanaman hijau itu, memang tampak hampir tidak ada yang berubah dari tiap sudutnya. Semua terasa masih sama asrinya, sama terawatnya seperti dulu. Studio lukis Ibu yang lama juga masih ada. Dan yang khas dari rumah masa kecilnya itu adalah, banyaknya barang-barang seni ataupun barang-barang antik yang masih terpajang di berbagai sudut.

A Cloudy Place In Your Heart (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang