12. Kalau Saja

785 119 76
                                    

Dulu mungkin kita pernah berpapasan di udara, ke penjuru mata angin yang berbeda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dulu mungkin kita pernah berpapasan di udara, ke penjuru mata angin yang berbeda. Tapi, Sandhyakala, nyatanya isyarat pertemuan kita sudah terjejak di sana.

-CIRRUS-

WanderingMe berkomentar:❤️🌇

Lengkung bibir Sandhya tampak begitu manis selepas dirinya mengirim komentar singkat pada sebuah kiriman terbaru Cirrus di linimasa akun professional twitter-nya. Meski akun media sosial pribadi sudah tidak dilayat lagi, tetapi media sosial untuk pekerjaan masih Sandhya aktifkan. Itu pun akun-akun yang dia ikuti hanya sebatas akun-akun penulis kesukaannya atau sesama blogger dan nomad worker.

"Mbak Sandhya."

Suara sayup seorang lelaki menyelip dalam kemelut di kepalanya, ponsel yang sedari nyala layarnya masih terus menyinari wajah Sandhya itu, lalu ia taruh sekejap di dekat kaki. Ruang berstruktur lengkung dari bahan anti air yang sedari tadi menaungi Sandhya, otomatis berubah remang. Jemari perempuan itu membuka sebuah penutup dengan risleting yang ada di hadapannya. Pintu masuk sederhana dari sebuah tenda kemah pun membuka sedikit, memperlihatkan sajah seorang Lando yang nongol dari luar sana.

"Mbak Sandhya, ayo kita mulai siap-siap. Habis ini mau summit attack," ujar si barista Pelataran Langit bertubuh bongsor itu. Samar-samar, uap-uap tipis tampak menguar dari mulut Lando tiap kali pria itu bicara—tanda kalau hawa udara di luar tenda memang cukup beku.

"Oke, Mas Lando."

"Gimana semalam, Mbak? Bisa tidur?" tanya Lando ramah.

"Ya lumayanlah, Mas. Cuma kadang kebangun-bangun aja," komentar Sandhya diikuti tawa ringan.

"Bintang sudah bangun, kah?" Lando lalu tampak melongok lagi ke dalam tenda, mencoba melihat keadaan Bintang yang memang sudah semalaman jadi teman tidur Sandhya di tenda itu.

"Habis ini kubangunkan, Mas. Tunggu, ya," tanggap Sandhya dengan suara dipelankan.

Lando hanya mengiyakan singkat dan tak lama kemudian undur diri. Sandhya menutup kembali risleting di pintu tenda, beranjak membangunkan Bintang yang masih asik bergumul dalam kantung tidurnya yang hangat. Selepas si barista paling cantik di Pelataran Langit itu megumpulkan nyawa, barulah mereka berkumpul dengan Lando yang sedang sibuk menyeduh minuman dan menghangatkan beberapa makanan instan dengan kompor parafin di depan tenda.

Telaga Cebong, begitulah sebutannya, kala itu telah menjadi persinggahan Sandhya, Lando, dan Bintang sedari semalam. Desa Sembungan—yang katanya adalah desa tertinggi di pulau Jawa—adalah lokasi di mana telaga terkenal itu berada. Kala itu pukul setengah empat pagi, sebelum agenda untuk menanjak ke Bukit Sikunir dan melihat matahari terbit dari atas sana dilaksanakan, ketiganya memutuskan untuk mengisi perut dan tenaga mereka dahulu dengan makanan dan minuma hangat. Duduk-duduk di atas terpal yang digelar di depan tenda, pemandangan telaga yang populer di kalangan pegiat camping itu terhampar menemani mereka.

A Cloudy Place In Your Heart (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang