24. Sidringo

664 104 89
                                    

Kalo kamu suka boleh tekan tanda bintangnya :) Selamat membaca, bab kali ini panjang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalo kamu suka boleh tekan tanda bintangnya :) Selamat membaca, bab kali ini panjang.

-:-:-

"Saya boleh duduk sini?"

Sapaan seorang pria sontak membuat Sandhya bergidik kecil. "Memangnya saya hansip? Harus izin dulu begitu?" tanggap Sandhya seraya menoleh. Didapati Rendra sudah ada tepat di belakangnya.

Tawa kecil lelaki itu kemudian mengalun. Tanpa basa-basi lagi, ia lalu mengambil tempat di bangku lipat kosong sebelah Sandhya.

Kala itu, langit memang telah berganti wajah. Jam tangan digital di pergelangan Rendra bahkan telah menunjuk pukul sepuluh malam. Sekitar dua setengah jam yang lalu, ia, Sandhya, Pras, Bintang, dan juga Lando, sudah puas melahap santap malam. Meski hanya dengan menu makanan yang sangat sederhana, semuanya justru terasa begitu nikmat karena dimasak bersama-sama.

Selepasnya seraya mengelilingi hangat api unggun kecil, ada permainan-permainan konyol yang mereka ciptakan; rentetan obrolan receh yang tidak penting; ataupun suara alunan gitar Rendra yang sesekali mengiringi nyanyian sumbang Lando yang memancing gelak tawa. Semua terangkum dalam gembira.

"Yang lain udah pada molor, kamu kenapa masih bangun?" tanya Rendra penasaran.

"Mas Rendra sendiri?"

"Gara-gara kamu saya jadi nggak bisa tidur."

Sandhya sontak menukikkan alis karena ucapan Rendra. Senyumnya yang rikuh nan semringah tercetak di sudut bibir perempuan itu.

"Bisa-bisanya," semprot Sandhya seraya menoyor asal lengan Rendra. Ia hanya mencoba menutupi kegugupan dengan gestur kasual yang santai.

Merasa gemas sendiri, Rendra sontak tertawa ringan dibuatnya. Wajah merona Sandhya yang tersorot terang nyala api unggun kecil di depan mereka, tampak sangat lucu di mata Rendra.

"Mas?" panggil Sandhya setelah beberapa jenak sunyi.

"Hm?"

Pandangan Rendra yang tadinya menatap lurus ke arah ujung bukit di kejauhan, lalu kembali pada wajah Sandhya.

"Mas Rendra pernah ... merasa kesulitan untuk memaafkan orang lain?" tanya Sandhya hati-hati.

Rendra terdiam sejenak, tak sangka jika Sandhya akan mengawali bincang dengan sesuatu yang terkesan dalam dan serius. Pria itu sekilas tersenyum.

"Pernah," ucap Rendra, terdengar sama sekali tidak keberatan membahas hal itu. "Dan orang itu adalah bagian dari keluarga saya sendiri."

Kali ini giliran Sandhya yang dibuat terdiam. Pandangan mereka sempat bertaut. Sandhya akhirnya menangkap kesenduan itu di mata Rendra. Dan tanpa disadari, Rendra telah kembali menarik Sandhya masuk lebih jauh ke dalam relungnya.

"Rasa kecewa yang paling besar itu memang seringnya datang dari orang terdekat, 'kan?" tanggap Sandhya selepas beberapa jenak tersekat sunyi.

Rendra kemudian hanya tampak tersenyum getir, mengiyakan singkat. Ketika ia kembali mematri pandangan pada wajah sang jelita, ia pun akhirnya mendapati sorot penuh pengertian itu pada sepasang netra Sandhya.

A Cloudy Place In Your Heart (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang