-:-:-Senja rasanya tidak pernah tampak bersolek seindah itu sebelumnya. Senja yang Sandhya tahu akan jadi senja terakhirnya di tanah para dewa.
Kala itu, ia baru saja kembali dari Pelataran Langit. Dari luar, Sandhya mendapati ruang depan Paviliun Senja tampak seperti sebuah balok transparan yang diterpa sinaran rembang petang. Garis-garis cahaya dan bayangan tampak harmonis bersinggungan di atas tembok-temboknya yang putih.
Dan akhirnya, satu pemandangan di dalam sana kembali menyita atensi sang pemilik paras ayu. Seseorang yang beberapa hari terakhir ini kian sering memenuhi isi kepala Sandhya, tampak sedang tertidur di satu-satunya sofa yang ada sana. Ditemani si kucing yang juga terlelap di antara lengannya, Rendra bergumul dengan cahaya senja yang samar-samar jatuh di atas tubuh.
Perlahan, Sandhya membuka sliding door kaca di hadapannya, lalu berjinjit melangkah masuk. Ia berlutut tanpa suara di atas lantai kayu, merapat ke sebelah sofa. Jemarinya kemudian menaikkan sedikit selimut biru gelap yang agak melorot sampai batas pinggang Rendra.
Kemudian, sunyi kian terasa pekat. Kala itu hanya ada detak jam dinding dan suara desis halus dari tabung oksigen yang ada di sebelah lengan sofa. Benda itu dari semenjak tiga hari lalu—baik siang atau malam—memang hampir tak pernah absen menemani Rendra, membuat Sandhya kadang pilu melihatnya. Sudah sesakit itukah si Pelukis Awan?
Sandhya menatap baik-baik sebentuk rupa di hadapannya. Seperti lukisan senja, titik-titik jingga surya yang jatuh di wajah dan lengan pria itu, membuat Sandhya kian menangkap keindahannya yang terkesan rapuh. Pias yang mewarnai bibir, pipi, dan jemari Rendra, terlihat begitu kontras dengan sweter turtleneck hitam yang membalut tubuhnya.
"The Oldman and The Sea", novelet penerima penghargaan pulitzer karya Hemingway, tampak ada di sebelah lengan Rendra. Dan sebuah buku lain terlihat masih berada dalam dekapan pria itu. Kemungkinan, tadi ia tertidur selepas membacanya.
Hati-hati, jemari Sandhya menyentuh jemari Rendra. Dengan lembut dan tanpa mengusik lelapnya, ia lalu melepaskan buku yang belum terlihat judulnya itu dari dekapan Rendra. Tak lama, ketika buku itu telah berpindah dalam genggaman Sandhya, ia pun tak kuasa menahan senyum hangat saat membaca judulnya.
Kawruh Jiwa*, begitu yang tertulis di sampulnya. Sandhya ingat jika dulu ia juga pernah menemukan judul buku itu dari lemari koleksi milik almarhum ayahnya. Sungguh, Ia tak sangka jika Rendra ternyata gemar membaca sesuatu yang kesannya sangat subtil dan dalam seperti itu.
Bergantian, Sandhya perlahan membuka lembar demi lembar "Kawruh Jiwa" dan "The Oldman and The Sea". Ia kembali dibuat tersenyum saat mendapati paragraf-paragraf ataupun dialog-dialog berkesan di dalam sana, telah ditandai dengan highlighter oleh Rendra. Anotasi juga terbubuh di beberapa sisi dengan tulisan bertinta hitam—tulisan yang entah mengapa di mata Sandhya tampak terpelajar. Dalam diam Sandhya meneliti, ia pun akhirnya tahu jika Rendra adalah sejenis pria yang senang mencermati isi bacaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Cloudy Place In Your Heart (FIN)
RomanceBagi Sandhyakala Dewi Kusuma (Sandhya), kehidupannya selama hampir tiga tahun belakangan sebagai seorang pengelana digital, alias digital nomad, bagaikan awan-awan yang berkelana tanpa tahu arah. Hampir tidak ada kata "menetap" dalam kamus hidup San...