"Dari mana, Mas?"
Pertanyaan yang diajukan Pras segera saja menodong Rendra yang baru memasuki Paviliun Senja. Adiknya itu tiba-tiba sudah terlihat duduk di tepi kasur kamarnya dengan tampang serius. Kala itu, jam belum menunjuk pukul delapan pagi, dan Rendra baru saja kembali bersama Sandhya yang sudah menghabiskan waktu dini hari bersamanya di kompleks candi Arjuna.
"Cuma keluar sebentar," jawab Rendra sekenanya sembari berlalu. Ia kemudian tampak menggantungkan syal hitam milik Sandhya pada stand hanger yang ada di sudut ruang.
"Ke mana?" selidik Pras lagi, tanpa terlihat beranjak dari tempatnya.
Rendra belum ingin menjawab, sejenak memilih membisu. Ia sudah menduga kalau hal semacam ini akan terjadi. Pras pasti akan lakukan interogasi karena dirinya yang tadi pagi sudah menghilang tanpa kabar sebelumnya.
"Mas Rendra, tadi dari mana?" ulang Pras, terdengar tidak puas. "Teleponku berkali-kali juga nggak diangkat?"
Ia masih kukuh mempertanyakan keberadaan Rendra yang pada lepas subuh sudah tidak ditemukan di kamarnya.
"Candi."
Lagi-lagi Rendra hanya menjawab singkat sambil melucuti lapisan pakaiannya hingga hanya menyisakan kaus putih polos yang ia kenakan di lapis paling bawah.
"Candi? Ngapain?" Pras menuntut penjelasan lebih.
"Kenapa memangnya?"
Rendra justru balik bertanya. Kerut mulai terlihat jelas di antara alis mata pria itu.
"Pagi ini udara di luar dingin sekali, Mas. Nggak bagus buat paru-paru. Batuknya bisa makin parah, Mas," tegur Pras. "Dan, Mas Rendra tadi nyetir sendiri, 'kan?"
"Mas nggak apa-apa." Rendra hanya kembali menanggapi dengan santai.
"Mas Rendra sudah dilarang dokter nggak boleh nyetir. Bahaya sekali, Mas. Nanti kalau di tengah jalan Mas Rendra dapat serangan gimana?"
Rendra kemudian hanya kembali terdiam, tampak membereskan baju-bajunya. Apa yang diucap Pras memang benar adanya. Rendra rasanya tidak mampu mengelak dari fakta yang satu itu.
"Mas Rendra kenapa nekat begitu? Apa nggak ingat juga kalau dua hari lalu Mas sempat kambuh? Nanti sakit lagi gimana?" ungkit Pras, mulai terkesan ngotot.
Dibalik semua kekesalannya, Pras sesungguhnya hanya terlampau takut kalau akan terjadi sesuatu dengan Rendra ketika memilih berpergian sendiri tanpanya. Pras pun mengingat puncak ketakutannya saat dua hari lalu harus mendapati Rendra kambuh lagi di hadapannya.
"Dari hari kemarin Mas sudah baikan. Buktinya pulang sampai sini nggak ada apa-apa, kan? Kamu nggak perlu berlebihan, Pras." Rendra mulai tidak nyaman dengan ocehan Pras yang kian tajam.
"Bukan berlebihan. Mas Rendra yang harusnya jangan anggap semuanya terlalu enteng. Mas harus hati-hati. Lihat sikon. Mas Rendra itu mudah sekali—"
"Kamu pikir selama beberapa tahun ini, apa pernah Mas benar-benar merasa sehat? Sesehat-sehatnya Mas, memangnya yang seperti apa? Mas memang selalu sakit, 'kan?" sela Rendra yang mulai terdengar agak kesal. Pras lalu hanya sanggup membisu.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Cloudy Place In Your Heart (FIN)
RomantizmBagi Sandhyakala Dewi Kusuma (Sandhya), kehidupannya selama hampir tiga tahun belakangan sebagai seorang pengelana digital, alias digital nomad, bagaikan awan-awan yang berkelana tanpa tahu arah. Hampir tidak ada kata "menetap" dalam kamus hidup San...