40. Art Gallery

636 91 23
                                    

"Lusa nanti Kalin jadi main ke Indonesia? Mampir ke sini nggak, Bu?" tanya Sandhya yang kala itu baru saja keluar kamar setelah sibuk seharian dengan semua deadline pekerjaan freelance-nya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lusa nanti Kalin jadi main ke Indonesia? Mampir ke sini nggak, Bu?" tanya Sandhya yang kala itu baru saja keluar kamar setelah sibuk seharian dengan semua deadline pekerjaan freelance-nya.

"Iya, dia sudah kabari Ibu lagi. Rencana mau nginap juga tiga malam di sini. Suaminya ada urusan ke Jogja dulu, tapi Kalin nggak mau ikut. Jadi maunya stay di Semarang aja, kangen katanya."

Tak sampai satu bulan selepas menikah dengan Aryo, Kalinda tak lama kemudian langsung diboyong oleh sang suami ke Benua Kanguru—tempatnya bekerja dan menetap. Baru setelah berbulan-bulan kemudian, Kalinda akhirnya bisa mengunjungi Indonesia lagi karena kebetulan Aryo sedang ada perjalanan bisnis.

"Eh, iya. Tante Laksmi juga mau ke sini, lho," tambah Asti, terdengar semringah.

Alis mata Sandhya seketika berkerut ketika mendengar Ibu menyebut nama adik kandungnya.

"Tante Laksmi dalam rangka apa ke sini? Nggak mau yang aneh-aneh lagi kan, Bu?" tanya Sandhya dengan nada curiga.

Sandhya seketika mengingat kelakukan random Tante Laksmi, sang kurator seni independen yang nyentrik itu, pada setahun lalu. Masih segar dalam ingatan, bagaimana Tante Laksmi tiba-tiba menjodohkannya dengan beberapa laki-laki yang menurut Sandhya aneh-aneh semua kelakuannya.

Asti sekilas tertawa kecil. Ia mengerti maksud putrinya. "Kayaknya enggak, sih. Tante Laksmi cuma mau ada urusan pameran," jawab Asti.

"Pameran di mana?" tanya Sandhya penasaran.

"Di mana, ya? Kayaknya di galeri seni yang di daerah Kota Lama itu," tanggap Asti, yang kemudian hanya ditimpali 'oh' singkat oleh Sandhya.

Asti kemudian merapat ke sebelah Sandhya yang duduk santai di ruang keluarga. Ia lalu menggenggam jemari sang putri. Mata dengan sorot keibuan itu lalu menatap lembut ke dalam netra Sandhya.

"Kenapa, Bu?" tanya Sandhya lembut, agak heran dengan sikap sang ibu.

"Ibu minta maaf, ya, waktu itu pernah maksa-maksa kamu," ungkap Asti.

"Maksud Ibu?"

"Waktu itu Ibu nggak mikirin persaan kamu yang masih trauma dengan Haikal atau dengan pertunangan kamu yang pernah gagal. Maksa jodoh-jodohin kamu padahal waktu itu kamu nggak mau," ucap Asti yang kemudian belum ingin ditanggapi oleh Sandhya. "Ibu egois karena memaksa kamu untuk cepat-cepat dapat pasangan lagi, lalu menikah. Ibu terlalu berprasangka buruk kalau kamu nggak akan pernah mau buka hati dan mencoba lagi."

Genggaman jemari Asti terasa semakin mengerat. Satu hela napas pendek lalu mencelus dari sela bibirnya, terdengar seperti sesal yang tertahan.

"Setelah kamu pergi lagi waktu itu, Ibu sadar kalau Ibu bisa saja mengulang kesalahan yang sama dengan rumah tangga ibu dulu," tutur Asti. "Ibu sempat terlalu mementingkan perasaan malu sama keluarga karena pertunanganmu yang putus itu. Tapi, sayangnya Ibu nggak mikirin sakitnya perasaanmu karena Haikal. Ibu bahkan sempat menghakimi perasaan sedihmu, nyuruh kamu untuk cepat-cepat bangkit padahal kamu masih sangat sakit."

A Cloudy Place In Your Heart (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang